Meliput Sidang Umum Interpol di Dakar, Senegal 1992

Tahun 1992 merupakan tahun yang penuh pengalaman luar biasa bagi saya. Meliput tiga konferensi internasional, mulai dari Konferensi ASEANAPOL di Brunei Darussalam bulan Agustus, meliput Konferensi Gerakan Non-Blok di Jakarta bulan September, hingga meliput Sidang Umum ICPO-Interpol di Dakar, Senegal, Afrika Barat, 4-10 November 1992.

Kali ini saya menulis laporan dari Senegal, yang menjadi tuan rumah Sidang Umum ke-61 ICPO-Interpol. Senegal, bekas koloni Perancis, adalah sebuah negara di Afrika Barat. Luasnya 196.722 km persegi, berbatasan dengan Samudera Atlantik di sebelah barat, Mauritania di sebelah utara, Mali di sebelah timur, Guinea-Bissau di sebelah selatan. Nama Senegal diambil dari Sungai Senegal yang mengalir di perbatasan timur ke utara.

Senegal pada abad ke-9 merupakan bagian dari Kerajaan Takrur dan pada abad ke-13 dan 14 menjadi wilayah Kerajaan Djolof. Pada pertengahan abad ke-15, Portugis mendarat di pantai Senegal, disusul Perancis. Pengaruh Perancis terasa sangat kuat, bahkan setelah negeri ini merdeka tahun 1960.

Dakar, ibu kota Senegal, berada di semenanjung Cap-Vert di tepi Samudera Atlantik. Luas kota hanya 82,38km persegi, namun digabung dengan kawasan sekitarnya, luasnya menjadi 574 km2 (kurang sedikit dari luas Kota Jakarta).  Dakar merupakan pusat pertemuan dua peradaban Afrika dan Eropa, titik pertemuan budaya tradisional dan modern. Pada abad ke-17 dan 18, kota ini menjadi pusat perdagangan. Pedagang dari sejumlah kerajaan penjajah datang dan membangun pos di sepanjang pantai yang menghadap Samudera Atlantik.  

Di kota yang berabad-abad lalu sibuk dengan perbudakan inilah, Sidang Umum Interpol digelar.  Pada waktu itu peserta Sidang Umum ke-61 Interpol menginap di Hotel Le Meridien President (sekarang hotel bintang lima yang memiliki pemandangan luas ke Samudera Atlantik itu berubah nama menjadi Hotel King Fahd Palace).   Jika ditilik dari namanya, hotel itu dulu milik jaringan Perancis Le Meridien, sekarang tampaknya sudah berubah milik Arab Saudi.


1992: Delegasi Indonesia dalam Sidang Umum Interpol di Dakar, Senegal, November 1992. Foto di depan KBRI di Dakar, Senegal. Dari kiri ke kanan Drs M, Chariri (Kasubdit Intel Ditjen Bea dan Cukai), Kolonel Drs Ismet Ibrahim (Sekretaris Direktorat Reserse Polri), Mayjen Drs Aji Komaruddin (Kapolda Jawa Tengah), Duta Besar RI untuk Senegal, ketua delegasi Mayjen Drs IGM Putera Astaman (Deputi Kapolri bidang Operasi),  Sutardi SH (pejabat Biro Hukum Bank Indonesia),   Kolonel Drs Suharyono (Kepala Sekretariat NCB-Interpol) dan saya wartawan Kompas Robert Adhi Ksp, paling kanan. FOTO: DOKUMENTASI KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA



Delegasi Indonesia terdiri enam orang dipimpin Mayjen (Pol) Drs IGM Putera Astaman (Deputi Kapolri bidang Operasi Kepolisian Republik Indonesia). Saya bangga bisa meliput sidang umum Interpol yang dihadiri seluruh kepala kepolisian seluruh dunia ini dan menjadi wartawan Indonesia pertama yang meliput General Assembly ICPO-Interpol. Yang juga membuat saya bangga adalah perjalanan saya dibiayai Kompas.

Perjalanan menuju Senegal di Afrika Barat melalui beberapa kali transit. Kami ke Dakar menggunakan pesawat Air Afrique dari Bandara Charles de Gaulle di Paris, Perancis. Pengalaman naik pesawat Air Afrique sungguh tak terlupakan karena pesawat ini sungguh jauh dari nyaman. Pramugari Air Afrique bukan seperti pramugari Garuda Indonesia atau Singapore Airlines yang bertubuh ramping. Suara mereka keras dan kurang ramah, tidak seperti pramugari Asia yang murah senyum. Kalau ingat pelayanan Air Afrique seperti itu, saya bangga pada Garuda Indonesia.


Untuk meliput konferensi internasional, setiap wartawan Kompas diwajibkan mengenakan jas resmi. Ketika meliput Sidang Umum ICPO, saya mengenakan jas yang sebelumnya digunakan meliput konferensi Aseanapol di Brunei dan KTT GNB di Jakarta.

Bagaimana mengirim berita ke kantor Kompas? Setibanya di hotel, yang saya cari lebih dahulu adalah apakah memungkinkan mengirim berita melalui modem. Pada tahun 1992, pengirim berita ke kantor melalui modem, faksimil dan teleks. Mengirim berita via modem dari Dakar ke Jakarta, butuh waktu dan biaya relatif mahal. Ketika pengiriman lewat modem terputus, saya mengirim melalui faks. Semua biaya pengiriman berita ditanggung Kompas.  (Mengenang masa lalu seperti ini, saya membandingkan dengan kondisi sekarang dan perkembangan teknologi yang begitu pesat. Betapa saat ini pengiriman berita jauh lebih mudah).

Saya merasa sangat beruntung karena Pak Putera Astaman mengizinkan saya terlibat langsung, mendengarkan isi Sidang Umum langsung dari lokasi sidang. Saya dianggap sebagai bagian dari delegasi Indonesia. Sungguh pengalaman yang sangat berkesan dalam perjalanan jurnalistik saya.  

1992: Foto atas: Delegasi Indonesia dipimpin Mayjen Pol IGM Putera Astaman dalam Sidang Umum ke-61 ICPO-Interpol di Dakar, Senegal. Foto bawah: bersama delegasi Vietnam. FOTO: DOK KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA

Di sela-sela acara, saya dan delegasi Indonesia menyempatkan diri menikmati Dakar dan sekitarnya. Sebagian besar penduduk kota berbicara dalam Bahasa Perancis. Sungguh merepotkan jika kita tidak bisa berbahasa Perancis. Restoran yang ada di kota ini yang pas di lidah Indonesia hanya restoran Vietnam. Mungkin karena Vietnam dan Senegal sama-sama pernah jadi koloni Perancis sehingga orang Vietnam mudah membuka restoran oriental di Afrika.

Kami juga menyempatkan diri ke Pulau Goree, sekitar 20 menit dari Dakar naik kapal. Sebuah pulau yang menjadi monumen dan museum sejarah perbudakan. Pulau ini diyakini memiliki peran penting sebagai pusat budak di Atlantik. Menurut sejarawan Philip D Curtin, jual beli budak dilakukan di pulau ini mulai tahun 1670 hingga tahun 1810. Sedikitnya 180.000 budak Afrika dikirim dari Pulau Goree.  Maison des Escalves menjadi situs bersejarah yang dilindungi UNESCO dan kini menjadi salah satu destinasi wisata. 

Ke Senegal, saya tidak hanya sekadar meliput, tetapi juga mendapatkan pengetahuan tentang kejahatan transnasional dan global, serta melihat monumen masa kegelapan peradaban: manusia diperjualbelikan dan dijadikan budak. Jika seseorang dibawa ke pulau ini, ia tidak bisa kembali lagi. Door of No Return. 

1992: Inilah suasana salah satu sudut di kota Dakar, Senegal pada tahun 1992. Tampaknya di antara kemewahan yang ada di hotel bintang lima, pemandangan kemiskinan di kota lebih menonjol. FOTO: DOK KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA

1992: bersama Sekretaris NCB-Interpol Indonesia Kolonel Pol Suharyono di sela-sela Sidang Umum ke-61 ICPO-Interpol di Dakar, Senegal. FOTO DOK ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA


Apa yang dibahas di Sidang Umum Interpol?
ICPO adalah singkatan dari International Criminal Police Organization atau dikenal dengan nama Interpol. Pada tahun 1992, Sekjen Interpol dijabat oleh Raymond E. Kendall berasal dari Scotland Yard Inggris.

Sidang Umum Interpol dibuka Presiden Senegal Abdou Diouf di Dakar, Senegal, dihadiri 550 anggota delegasi dari 127 negara termasuk Indonesia, serta 12 negara peninjau. Sidang berlangsung 4-10 November 1992.

Lalu lintas perdagangan gelap narkotika menjadi pembahasan utama dalam Sidang Umum ke-61 Interpol - ICPO (International Criminal Police Organization) di Dakar, Senegal, Afrika Barat yang dibuka 4 November 1992 petang waktu setempat.  Kejahatan internasional jenis ini merupakan ancaman serius bagi kehidupan bangsa-bangsa di dunia dan merupakan isu serta tantangan bagi para penegak hukum.

Sekjen Interpol Raymond E Kendall mengingatkan prinsip-prinsip dasar Interpol yang tertuang dalam Anggaran Dasar ICPO pasal 3 yang menyebutkan segala kegiatan Interpol tidak berkaitan dengan masalah politik, militer, agama dan rasial. Kejahatan tidak mengenal batas-batas negara sehingga negara anggota Interpol yang tidak memiliki hubungan diplomatik pun dapat saling berhubungan dan berkomunikasi melalui jalur Interpol.

Sebelas dari 12 negara yang mengajukan diri sebagai anggota baru Interpol - ICPO (International Criminal Police Organization) diterima dalam sidang pleno Interpol yang berakhir Rabu sore waktu Dakar atau Kamis dinihari (5/11/1992) WIB. Namun permohonan Macedonia belum dapat diterima dan ditunda sampai sidang umum tahun 1993.

Negara-negara anggota baru Interpol yang diumumkan dalam Sidang Umum di Dakar tahun 1992 adalah Kroatia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina, Estonia, Kazakhstan, Armenia, Azerbaijan, Latvia, Ukraina, Namibia dan Guinea Bissan. Dengan demikian, jumlah anggota Interpol bertambah dari 158 negara menjadi 169 negara. Diterimanya 11 negara tersebut menjadi anggota baru Interpol melalui pemungutan suara dalam sidang pleno. Indonesia termasuk sebagai anggota panitia pemungutan suara, bersama Gambia, Pakistan, Polandia, Uni Emirat Arab, Lebanon, Brasil dan Senegal.

Selama tahun 1991 terjadi peningkatan drastis terhadap peredaran kokain di Eropa dan ada usaha untuk menyebarkannya ke Timur Tengah. Negara yang menjadi sumber utama penyebaran heroin ini adalah Kolombia. Pihak berwenang di Kolombia dilaporkan telah memusnahkan 1.097 hektar tanaman opium.

Di Asia Tenggara, situasi kejahatan  narkotika tidak banyak berubah. Heroin diproses di daerah perbatasan Thailand, Laos dan Myanmar yang dikenal sebagai Golden Triangle (Segi Tiga Emas). Seperti biasanya, Thailand menyumbang jumlah terbanyak heroin untuk Segi Tiga Emas.

Mengacu informasi yang masuk ke Sekretariat Jenderal Interpol di Lyon Perancis selama tahun 1991, Sidang Umum ke-61 Interpol tahun 1992 tetap membahas soal narkotika. Pihak Sekjen Interpol meminta kepada delegasi anggota Interpol di seluruh dunia untuk membahas dan menganalisis perdagangan gelap narkotika yang sudah merupakan ancaman serius bagi kehidupan manusia, bangsa dan negara.

1992: Foto atas: bersama Pak Aji Komaruddin, Pak IGM Putera Astaman, dan Pak Suharyono di Bandara di Paris, sambil menunggu pesawat Air Afrique ke Dakar, Senegal. Foto bawah: Pak Aji Komaruddin dan Pak IGM Putera Astaman menunggu pesawat. FOTO: DOKUMENTASI KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA


Nakotika di Indonesia
Pada tahun 1992, perdagangan narkoba sudah masuk ke Indonesia. Menurut  Deputi Kapolri bidang Operasi Mayjen IGM Putera Astaman, Indonesia hanya merupakan tempat transit para sindikat pengedar narkotika dunia dan juga tempat persembunyian pengedar narkotika.

Tahun 1992, John Steven Fagan, seorang pengedar narkotika yang jadi buronan polisi Amerika Serikat ditangkap di Bali oleh polisi Indonesia atas informasi Interpol Washington Amerika Serikat. Tahun sebelumnya, seorang WN Jerman ditangkap oleh Polri di sebuah hotel di Jakarta karena kedapatan membawa sekoper heroin. Penangkapan ini atas informasi Interpol Jerman kepada Interpol Indonesia.

Jumlah kasus narkotika yang ditangani Polri ì pada tahun 1989 tercatat 788, tahun 1990 meningkat menjadi 926 kasus, namun pada tahun 1991 turun menjadi 632 kasus. Selama tiga tahun tersebut, Polri telah meringkus 2.963 tersangka pelaku pengedar narkotika. (Angka-angka ini masih relatif sedikit dibandingkan dengan angka-angka kejahatan narkoba pada tahun 2000-an).

1992, DAKAR, SENEGAL: Suasana Sidang Umum ICPO-Interpol di Dakar, Senegal, November 1992. FOTO: DOKUMENTASI KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA



Strategi Modernisasi
Dalam sidang komite yang membahas telekomunikasi dan modernisasi, delegasi Indonesia yang diwakili Mayjen (Pol) Drs Aji Komaruddin dan Kolonel (Pol) Drs Ismet Ibrahim menjelaskan kepada forum mengenai strategi modernisasi yang dilakukan Indonesia.

Berdasarkan komunike bersama pertemuan ke-11 Aseanapol tahun 1991 di Singapupra, telah disepakati rencana pembentukan sistem bank data Aseanapol untuk mengefektifkan dan mengefisienkan pertukaran informasi tentang para penjahat internasional, dalam sistem yang seragam di antara enam negara di kawasan Asia Tenggara itu.

Untuk mengimplementasikan rencana tersebut, diadakan pertemuan teknis pada Juni 1992 lalu di Kuala Lumpur Malaysia, yang mendiskusikan soal konfigurasi sistem jaringan bank data Aseanapol, dan akan memiliki hubungan langsung dengan Markas Besar Interpol di Lyon, Perancis. Rencana ini makin dipertegas dalam pertemuan Aseanapol ke-12 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam Agustus 1992 lalu.

Sementara itu Sekjen Interpol Raymond Kendall kepada forum menjelaskan, dalam periode 1987-1991 Markas Besar Interpol telah menggunakan peralatan yang modern dan canggih untuk merekam dan mencari data-data kejahatan dan penjahat di seluruh dunia.

Untuk rencana lima tahun (1992-1996), Sekretariat Jenderal Interpol di Lyon Perancis meningkatkan fasilitas untuk kantor-kantor NCB, stasiun regional dan sub-regional di penjuru dunia. Seluruh negara anggota Interpol diminta untuk mendukung rencana modernisasi Interpol.

1992. DAKAR, SENEGAL: Suasana Sidang Umum
 
"Money laundering"

Kasus-kasus money laundering ("pencucian" uang hasil kejahatan) mendapat perhatian serius dari negara-negara anggota Interpol. Uang haram hasil perdagangan gelap narkotika yang "dicuci" menjadi seolah-olah uang halal ini disinyalir banyak diinvestasikan oleh sindikat narkotika internasional di berbagai negara di dunia, terutama di negara-negara sedang berkembang.

Hampir semua negara anggota Interpol yang mendapat kesempatan berbicara dalam forum, menyinggung soal money laundering.

Beberapa pembicara mengungkapkan, sindikat penjual dan pengedar narkotika memanfaatkan kelemahan undang-undang dan hukum di berbagai negara, untuk "mencuci" uang hasil perdagangan gelap narkotika mereka, dengan menginvestasikannya ke dalam usaha di bidang ekonomi. Antara lain usaha manufacture, perbankan, jasa dan badan usaha lainnya.

Susahnya, selama ini para penegak hukum selalu kesulitan membuktikan bahwa suatu usaha dibangun dari uang hasil perdagangan gelap narkotika atau simpanan di sebuah bank merupakan "uang kotor".

Kepala Interpol Makau, Sebastiao I da Rosa misalnya, dalam percakapan dengan Kompas mengungkapkan, kasus money laundering banyak terjadi di negaranya. Sindikat penjahat internasional menginvestasikannya ke dalam usaha kasino raksasa. Namun Rosa mengakui, pihaknya mengalami kesulitan untuk melacak kasus-kasus money laundering karena jaringannya begitu rumit, dan tidak sederhana.


1992: Foto atas: berfoto bersama Pak IGM Putera Astaman, Pak Aji Komaruddin, dan tentara penjaga Istana di Dakar, Senegal. Foto bawah: Istana Presiden Senegal. FOTO: DOKUMENTASI KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA


Indonesia tidak punya UU
Indonesia sendiri, seperti yang diungkapkan Deputi Kapolri bidang Operasi, Mayjen (Pol) Drs IGM Putera Astaman selaku ketua delegasi, seringkali membantu melakukan penyelidikan dan mengungkap kasus narkotika berkaitan dengan money laundering yang terjadi di Amerika Serikat, Australia, dan beberapa negara lainnya.

Namun terhadap warga negara Indonesia yang diduga mempunyai mata rantai kasus ini, kata Astaman, tidak dapat diambil tindakan hukum karena Indonesia belum memiliki undang-undang tentang money laundering.

Saat ini di Indonesia belum ada kewajiban bagi mereka yang melakukan transaksi dalam jumlah tertentu untuk melaporkan kepada instansi berwenang. Padahal seperti di Amerika, misalnya, setiap transaksi di atas 10.000 dollar AS harus dilaporkan kepada Departemen Keuangan, untuk mengetahui asal-usul uang tersebut.

Dikhawatirkan, jika kondisi ini tidak segera diantisipasi, akan dapat memberikan peluang bagi sindikat narkotika internasional untuk mempengaruhi birokrasi politik serta pertahanan dan keamanan. Misalnya, hasil penjualan narkotika digunakan untuk membeli senjata dan biaya kudeta, seperti yang sudah terjadi di beberapa negara Amerika Latin. Hasil penjualan narkotika di Amerika Serikat disinyalir melebihi hasil penjualan perusahaan minyak terbesar di negeri Paman Sam tersebut.

Pihak Sekretariat Jenderal Interpol selama tahun 1991 mengumpulkan data-data buronan penjahat narkotika internasional, lengkap dengan foto, sidik jari, rekor kriminal, modus operandi yang sering dilakukan dan kegiatan kejahatan umum. Buronan yang masuk dalam daftar red notices (dianggap sudah membahayakan) tercatat 141 orang, sedangkan yang masuk green notices tiga orang.

Divisi Narkotika Markas Besar Interpol dan sejumlah negara anggota Interpol selama tahun 1991 banyak mengkoordinir dan mengadakan konferensi, seminar, lokakarya, kursus dan latihan bagi penegak hukum, khusus mengenai narkotika. Ini semua untuk memerangi kejahatan narkotika yang dampaknya sangat buruk bagi kehidupan bangsa-bangsa di dunia.


1992: DAKAR, SENEGAL: Suasana Sidang Umum ICPO-Interpol di Dakar, Senegal. FOTO DOKUMENTASI KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA

Kejahatan Lingkungan
Negara-negara anggota Interpol sepakat membentuk kelompok kerja untuk menanggulangi kejahatan di bidang lingkungan hidup, yang terus meningkat. Pembentukan kelompok kerja yang terdiri dari para penyelidik dan atau pembuat keputusan dari negara anggota Interpol ini, berada di bawah pengawasan kantor Setjen Interpol di Lyon, Perancis.

Masalah pembentukan kelompok kerja ini dibahas dalam sidang pleno pada Sidang Umum ke-61 Interpol-ICPO (International Criminal Police Organization) di Dakar, Senegal Selasa dinihari 10 November 1992 waktu Indonesia. Sidang pleno dipimpin langsung oleh Presiden Interpol, Ivan Barbot.

Pembahasan draft resolusi tentang kejahatan di bidang lingkungan hidup merupakan hal yang pertama kali terjadi dalam sidang umum Interpol. Pembahasan tentang masalah ini atas usulan Interpol Belanda, dan didukung oleh negara anggota Interpol lainnya, yang menilai perlunya dibentuk kelompok kerja di bawah pengawasan Interpol untuk melawan kejahatan di bidang lingkungan hidup. Bahaya kejahatan jenis ini juga telah diingatkan para peserta KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil.

Disadari bahwa untuk melakukan penyelidikan kasus-kasus kejahatan di bidang lingkungan hidup, dibutuhkan koordinasi dan kerja sama antarnegara anggota Interpol. Sebab peraturan dan departemen yang bertanggung jawab atas kejahatan jenis ini berbeda- beda, untuk setiap negara. Kerja sama kepolisian antarnegara dinilai sangat penting untuk melawan jenis kejahatan ini secara efektif.

Dalam pembahasan draft resolusi mengenai kejahatan di bidang lingkungan hidup ditegaskan, Interpol menyadari bahwa para pelaku kejahatan yang terlibat dalam kegiatan kejahatan jenis ini umumnya beroperasi dengan kemampuan profesional yang tinggi, di mana penegak hukum nasional dan pemerintah kadang-kadang kurang berpengalaman dalam menghadapi masalah ini.

Untuk itu diputuskan membentuk kelompok kerja yang terdiri dari para penyelidik dan atau pembuat keputusan dari negara- negara anggota Interpol di bawah pengawasan Markas Besar Interpol, guna mengidentifikasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyelidikan kejahatan di bidang lingkungan hidup dan menemukan solusi yang memungkinkan.

Beberapa solusi termasuk kerja sama dan pertukaran informasi melalui jalur Interpol dan kemungkinan pendistribusian informasi ke dalam pembuatan buku pedoman mengenai kejahatan di bidang lingkungan hidup, ke semua negara anggota Interpol. Kelompok kerja ini dapat membuat rekomendasi untuk mengesahkan peraturan sebagai upaya menanggulangi kejahatan di bidang lingkungan hidup dan harmonisasi keberadaan peraturan.

Kejahatan di bidang lingkungan hidup yang dicemaskan ini merupakan salah satu bagian dari kejahatan internasional di bidang ekonomi, yang dampaknya makin serius mengancam kehidupan bangsa- bangsa di dunia. Kejahatan internasional di bidang ekonomi lainnya yang harus diwaspadai adalah kejahatan di bidang komputer, penipuan dengan sasaran korban pemerintah negara-negara sedang berkembang, serta berbagai kasus money laundering.

Berbagai jenis kejahatan di bidang ekonomi tersebut, memiliki dampak kerugian yang sangat besar dan mengancam kehidupan perekonomian bangsa. Masyarakat internasional memutuskan bahwa jenis-jenis tertentu kejahatan di bidang ekonomi, seperti halnya money laundering, merupakan suatu masalah serius yang harus ditanggulangi secara lebih efektif dengan inisiatif multilateral.

Untuk menanggulangi kejahatan di bidang ekonomi dan mempertahankan ekonomi negara-negara anggota dari ancaman bahaya kejahatan ini, Markas Besar Interpol mengimbau kepada setiap anggota untuk mensahkan dan atau memperkuat peraturan dan hukum domestik yang memadai.

Di Indonesia, kejahatan di bidang lingkungan hidup sudah mulai ditangani, terutama masalah pencemaran limbah industri. Sejumlah kasus pencemaran sudah diajukan ke penuntut umum dan sejumlah pengusaha diseret ke pengadilan.

        =======================================================

1992: Senegal, Afrika Barat. Bersama Pak Putera Astaman dan Pak Suharyono di Pulau Goree, monumen dan museum perbudakan . FOTO; DOKUMENTASI KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA

 
Berikut ini laporan khusus yang saya tulis tentang Interpol yang dimuat di Harian Kompas, 11 Desember 1992. Beberapa laporan dalam bentuk berita harian sudah saya rangkum dalam tulisan di atas. 

PENGANTAR REDAKSI
SIDANG Umum ke-61 Interpol-ICPO (International Criminal Police Organization) di Dakar, Senegal, Afrika Barat berlangsung tanggal 4-10 November 1992. Wartawan Kompas Robert Adhi Ksp yang menyertai delegasi Indonesia, menuliskan catatannya dalam tiga tulisan. Satu tulisan di antaranya gambaran mengenai Interpol, yang merupakan catatan hasil kunjungan ke Markas Besar Interpol di Lyon, Perancis.                

(Dua kliping laporan saya lainnya ada di blog ini dengan judul: Berkunjung ke Markas Besar Interpol di Lyon)


Kliping tulisan tentang Interpol di Harian Kompas, 11 Desember 1992. DOKUMENTASI KOMPAS


                      Perdagangan Narkotika:

              MAKIN GELAP, MAKIN MENINGKAT


MASALAH perdagangan narkotika tak habis-habisnya dibahas dalam berbagai forum internasional, termasuk dalam Sidang Umum ke-61 Interpol - ICPO (International Criminal Police Organization) yang berlangsung di Dakar, Senegal, 4-10 November 1992. Selain soal cara dagangnya yang gelap, penyalahgunaannya pun jadi sorotan utama penegak hukum se dunia. Perjuangan dan perang melawan narkotika terus diserukan mereka, karena ancamannya makin serius bagi kehidupan bangsa-bangsa di dunia.

Keseriusan ini terlihat dari munculnya sejumlah skandal atau kasus kelas dunia. Sebut saja penangkapan Jenderal Manuel Antonio Noriega oleh pasukan Amerika Serikat 20 Desember 1989 silam misalnya, atau penangkapan Marion Barry, Walikota Washington DC oleh agen FBI pada 18 Januari 1990. Juga terbunuhnya Jaksa Agung Kolombia Carlos Mauro Hoyos pada Januari 1988 silam yang merupakan korban keganasan sindikat narkotika, contoh nyata betapa merajalelanya sindikat penjahat ini.

Dalam Sidang Umum ke-61 Interpol yang lalu, banyak negara anggota Interpol yang mengungkapkan kekhawatiran dan kecemasan mereka akan perdagangan gelap narkotika yang semakin meningkat. "Selama tahun 1991, kita menjadi saksi betapa penyediaan kokain di Eropa meningkat drastis. Bahkan ada usaha menyelundupkannya ke Timur Tengah. Indikasi menunjukkan, Kolombia sebagai negara sumber heroin. Hal ini diperkuat dengan laporan Interpol Kolombia yang menyatakan telah memusnahkan 1.097 hektar tanaman opium, menyita 30 kg opium dan 17 kg morfin," kata Sekjen Interpol Raymond E. Kendall.

Selama tahun 1991, wilayah Timur Jauh, Asia Barat Daya, Asia Tenggara, dan Meksiko tetap merupakan daerah utama penanaman benih pohon opium secara ilegal. Diperkirakan produksi total opium berkisar 3.000 ton. Ada beberapa perdagangan opium transnasional antara Afganistan dan Iran, juga antara Myanmar dan RRC, namun secara keseluruhan kecenderungan konversi opium termasuk heroin dan morfin terus berlanjut.

Nilai perdagangan gelap narkotika selama 1990 misalnya, diperkirakan mencapai 500 milyar dollar AS. Jumlah ini lebih besar dibandingkan jumlah penjualan minyak dunia, dan kedua setelah hasil perdagangan senjata.

                                                                     ***

MENGAPA sindikat dan mafia narkotika sulit diberantas? Beberapa delegasi yang berbicara dalam sidang-sidang komite dan pleno pada Sidang Umum Interpol mengingatkan, perdagangan gelap narkotika mau tak mau berkaitan dengan kasus-kasus money laundering dan penjualan senjata api, yang juga berhubungan dengan terorisme internasional. Di beberapa negara, sindikat narkotika memiliki jaringan luas, rumit dan kompleks, yang tidak gampang dilacak.

Narkotika (khususnya opium) memang telah menjadi komoditi dagang sejak seribu tahun silam. Sindikat perdagangan narkotika telah menjadi "suatu kerajaan di bawah tanah" dengan kekuasaan dan dasar politik multinasional. Perdagangan gelap narkotika melibatkan para pelaku yang tak terhitung banyaknya, terorganisir dalam sistem atau jaringan ekonomi masyarakat dan pribadi. Bisnis ini pun memiliki pembagian kerja yang jelas, sistem produksi serta distribusi domestik dan multinasional.

Sindikat narkotika memiliki perilaku, nilai dan norma yang kompleks. Selain itu, kelompok ini memiliki hubungan dengan pejabat- pejabat pemerintah berbagai negara -- terutama mereka yang bisa disuap dengan uang jutaan dollar -- demi kelancaran bisnis mereka.

Karena alasan-alasan di atas, Pemerintah AS menurunkan pasukannya untuk menangkap Jenderal Manuel Antonio Noriega. Menurut tuduhan Juri Agung Federal di Miami Florida, Noriega menerima jutaan dollar dari penyelundup narkotika asal AS sebagai imbalan membantu menyimpan uang hasil penjualan narkotika di bank-bank Panama.

                                                                         * * *

DI Kolombia, kartel narkotika memiliki 'kerajaan' sendiri di Medellin, barat laut Bogota, lengkap dengan pengawal dan senjata. Mereka bahkan menyuap pejabat pemerintah dengan uang hasil penjualan narkotika, dan tidak segan-segan membunuh orang yang menghalang- halangi kegiatan mereka. Kelompok ini bukan lagi sekadar memiliki usaha di atas tanah sendiri, melainkan telah menjadi "negara di dalam negara", dengan membangun jalan dan gedung di Medellin.

Mereka beroperasi tidak hanya di Kolombia dan di AS, tapi juga di Bahama, Turki, Pulau Caicos, Panama, dan Kuba. Pablo Escobar Gaviria, salah satu gembongnya, pernah ditangkap, dan belum lama ini meloloskan diri. Konon, sekitar 80 persen narkotika yang beredar di AS berasal dari Medellin, Kolombia.

Begitu juga di AS, ada kelompok bernama La Cosa Nostra dan Mafia Sicilia, yang didirikan di AS selama tahun 1930-an oleh imigran Italia. Mafia Sicilia tidak tergantung pada La Cosa Nostra, namun kedua kelompok ini bekerja sama dan saling mempengaruhi. Kedua organisasi ini terlibat dalam kejahatan terorganisasi, di samping perdagangan narkotika. Keduanya bekerja sama dan hidup berdampingan dengan sindikat narkotika dari Asia dan Kolombia yang berbisnis di AS.

Ada pula Kelompok Jamaica. Sekitar 40 kelompok penjahat terorganisasi Jamaica ini beroperasi di AS, Kanada, Inggris, dan Karibia. Marijuana dan kokain merupakan komoditi utama yang disuplai Kelompok Jamaica, dan telah menjadikan mereka sebagai pedagang narkotika yang besar sejak pertengahan tahun 1980-an.

Kelompok-kelompok ini memiliki mobilitas tinggi dan kuat satu sama lain, mendekati dan menyuap pejabat-pejabat penegak hukum. Kelompok ini telah mengembangkan jaringan kerja sama dengan kelompok-kelompok jalanan Kolombia, Kuba, Pantai Barat dan para pemain lainnya dalam perdagangan narkotika. Di beberapa negara Amerika Latin lainnya, seperti Peru, Bolivia, Honduras, Costa Rica, narkotika juga jadi masalah besar.

                                                                              ***

INTERPOL sebagai organisasi kerja sama kepolisian antarnegara tak henti-hentinya memerangi kejahatan narkotika ini. Berbagai simposium, latihan dan kursus yang berkaitan dengan kejahatan narkotika terus-menerus diadakan.

Di Asia, liaison officers yang menangani soal narkotika, berpangkalan di Bangkok dan Islamabad, bekerja sama dengan negara- negara yang tergabung dalam FANC (Foreign Anti-Narcotics Community) mengadakan latihan dan kursus mengenai kejahatan narkotika, yang dikoordinir Setjen ICPO-Interpol. Negara-negara FANC adalah Australia, Kanada, Perancis, Jerman, Itali, Jepang, Belanda, Selandia Baru, Denmark, Finlandia, Norwegia, Swedia, Inggris dan Amerika Serikat.

Perdagangan gelap narkotika ini diakui sangat sulit diawasi. Sistem perdagangan gelap narkotika sangat canggih dan kompleks, dekat dengan institusi politik dan ekonomi, baik tingkat nasional maupun multinasional.

Melihat gambaran sindikat narkotika sangat kompleks, rapi, efisien dan terorganisasi dengan baik sebagai bisnis internasional, The National Drug Control Strategy -- badan pengawasan narkotika di Amerika Serikat -- menyatakan, pihak berwenang harus memiliki gambaran yang lengkap, akurat dan utuh mengenai seluruh "kerajaan" pedagang gelap narkotika di negeri itu. Semua bahan dianalisis dan hasilnya dijadikan masukan guna menyerang langsung ke jantung sindikat narkotika, tidak lagi sekadar di tepi luar dan ujung- ujungnya. Tugas ini membutuhkan keuletan luar biasa.

                                                                     ***

1992: DAKAR, SENEGAL: Suasana Sidang Umum ICPO-Interpol di Dakar, Senegal. FOTO: DOKUMENTASI KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA

BAGAIMANA dengan Indonesia? Jika mendengar laporan Interpol negara-negara lain, tampaknya Interpol Indonesia masih bisa menarik napas lega. Ternyata peredaran narkotika dalam jumlah besar, boleh dibilang belum ditemukan di Indonesia. Namun Mayjen (Pol) Drs IGM Putera Astaman selaku ketua delegasi Indonesia dalam Sidang Umum ke- 61 Interpol-ICPO menyatakan, tidak tertutup kemungkinan Indonesia dijadikan tempat transit sindikat internasional.

John Steven Fagan, gembong narkotika AS yang sudah lama diburu Interpol Washington misalnya, belum lama ini ditangkap polisi Indonesia di Bali, yang dijadikan tempat persembunyiannya. Karl Mueller, WN Jerman yang kedapatan membawa sekoper heroin, disergap di sebuah hotel di Jakarta dan sudah dihukum di Indonesia.

Kasus-kasus kejahatan narkotika di Indonesia, memang tidak sampai dalam jumlah berton-ton, dan disinyalir masih dalam jumlah kiloan. Jika membandingkannya dengan laporan Interpol negara lain, maka Indonesia dalam kasus narkotika masih dianggap relatif aman.

Meskipun demikian, bahaya masih tetap mengancam, terutama sindikat narkotika yang membawa ganja dari sumbernya di wilayah Aceh, yang dikenal sebagai ladang ganja. Apalagi belum lama ini Polda Metro Jaya beberapa kali meringkus sejumlah pengedar narkotika, dan asal-usul ganja diketahui dari Aceh dan Sumatera Utara. Kemungkinan jaringan sindikat narkotika di Indonesia berhubungan dengan sindikat di luar negeri tetap ada ...!  (KOMPAS - Jumat, 11 Desember 1992   halaman 10)

1992: Pertunjukan seni tradisional Senegal di kolam renang Hotel Le Meridien President, Dakar, Senegal. Hotel ini sekarang sudah berganti nama menjadi Hotel King Fahd Palace.  

               ====================================================

1992, PULAU GOREE, SENEGAL, AFRIKA BARAT. Selama 300 tahun, pulau ini merupakan pusat perbudakan.  FOTO: DOKUMENTASI KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA     


Komentar

Posting Komentar