Meliput Perompakan di Perairan Batam-Singapura

Pada akhir tahun 1992, saya menulis tiga laporan tentang perompakan. Dua tulisan masuk halaman 1 (Serial) dan satu lagi masuk halaman 16 Harian Kompas. Pada masa itu, kasus-kasus perompakan sangat menonjol, bahkan menjadi sorotan para kepala kepolisian se-Asia Tenggara yang bertemu dalam konferensi ASEANAPOL di Brunei Darussalam, Agustus 1992. 

Pulang dari Brunei, saya mengajukan proposal liputan masalah perompakan ke kepala desk (waktu itu Mas Widi Krastawan). Batam adalah tujuan utama. Kalau tidak salah ingat, di Polda Riau, saya bertemu dengan Kapolres Kepulauan Riau Barat Letkol Wenny Warouw dan  Kepala Satuan Polisi Perairan Polda Riau (Kapten atau Mayor, saya lupa) Syafei Aksal. Dia menemani saya naik kapal patroli kecil dari Batam hingga ke perbatasan perairan di Singapura.

"Kalau kita melewati batas perairan Singapura, pesawat tempur dan kapal patroli Singapura akan memberi peringatan," kata Syafei Aksal.

Benar saja, ketika ia mencoba melewati sedikit saja batas perairan Singapura, terdengar sirene dan bermunculanlah pesawat-pesawat tempur Singapura, memberi peringatan agar kami tidak melewati perbatasan perairan. Wow!

Pengalaman naik kapal patroli bersama komandan polisi perairan Polda Riau Syafei Aksal pada tahun 1992 menjadi pengalaman berkesan. Demikian juga ketika menulis laporan khusus tentang perompakan dan membedah akar persoalannya. (Pak Syafei Aksal kini menjabat Wakil Kepala Baharkam Polri dengan pangkat Inspektur Jenderal atau Irjen. Sebelumnya Pak Syafei menjabat Komandan Korps Brimob Polri).
         
Berikut ini tiga laporan tentang perompakan, yang pernah saya tulis dan dimuat di Harian Kompas, 4 dan 5 November 1992. Angka-angka mungkin sudah bagian dari sejarah, tapi beberapa bagian masih tetap relevan dengan kondisi saat ini. 

1992: Kapal Patroli 002 milik Polri, berkecepatan 35 mil per jam. Tampak Syafei Aksal ketika masih menjabat Kasat Polisi Perairan Polda Riau.  FOTO: DOK KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA
 

                                           MASALAH PEROMPAKAN

  CITRA NEGARA RUSAK AKIBAT OPERASI 20 MENIT

Pengantar Redaksi:
Kasus perompakan (bajak laut) yang terjadi di Selat Philips dan Selat Singapura beberapa waktu lalu kembali menghebohkan. Puluhan bahkan ratusan kapal yang melintasi selat-selat itu setiap hari, dilaporkan sering dijarah perompak. Wartawan Kompas Robert Adhi Ksp belum lama ini mengunjungi kawasan itu, dan menuliskan masalah perompakan dalam tiga tulisan, satu di antaranya di halaman XVI.

TANKER berbendera Arab Saudi memperlambat kecepatannya ketika memasuki perairan Selat Philips. Malam itu jarum jam menunjukkan angka 21.47 WIB atau 22.47 waktu Singapura. Posisi kapal tanker bermuatan minyak itu pada 01 derajat - 09' LU dan 130 derajat - 47' 00''BT atau sekitar satu mil arah utara mercu suar Halen Mars.

Tanpa disadari ABK (anak buah kapal) tanker itu, sebuah boat pancung merapat ke kapal dalam kegelapan malam. Lima pria bertopeng mengendap-endap memanjat kapal menggunakan bambu sepanjang enam meter, dan ujungnya diikat dengan sebatang kayu kecil menyerupai cangkok.
Mereka adalah kawanan perompak, bersenjata parang, obeng, linggis. Di bawah todongan senjata tajam, nakoda dan ABK terpaksa merelakan harta benda dipreteli dan dirampas. Brankas di ruang nakoda dibongkar dan isinya disikat habis.

Aksi komplotan ini, dan juga lainnya, berlangsung tak pernah lebih dari 20 menit, dan langsung turun lagi ke boat pancung berikut hasil jarahan. "Jika tak sempat ke boat pancung, mereka bertahan di air, lalu memberi kode pada teman-temannya dengan peluit mengenai posisinya. Mereka yang tertinggal di laut itu lalu dijemput dan bersama-sama naik boat pancung ke tempat persembunyian yang lokasinya berada di gugusan pulau di Belakang Padang," kisah Letda (Pol) Syahrial Denin yang sudah 25 tahun bertugas di Satuan Polisi Perairan Polda Riau.

                                                                           * * *

KISAH perompakan di atas -yang terjadi pada awal tahun ini- hanya satu contoh dari ratusan kasus perompakan yang terjadi di Selat Philips dan Selat Singapura. Kasus-kasus perompakan sepanjang tahun 1991 dan tahun 1992 ini memang meresahkan para nakoda, anak buah kapal, dan pemilik kapal yang melintasi selat-selat tersebut.

Berbagai kasus perompakan yang terjadi di wilayah perairan Polda Riau sepanjang tahun 1991 tercatat 185 kali. Kemudian pada tahun 1992 sampai bulan Mei tercatat 63 kasus.

Sejauh yang diketahui, daerah rawan perompakan berada di perairan Selat Philips hingga Selat Singapura, pada koordinat 1 derajat 20'0" LU dan 104 derajat 33'00" BT, sekitar 10 mil sebelah timur mercu suar Horsburg, dan di perairan Selat Malaka pada koordinat 1 derajat 12'00" LU dan 103 derajat 30'00" BT sebelah selat Tanjung Piai Malaysia, atau arah utara Pulau Karimun (baca boks hal 16).

Wilayah perairan ini merupakan alur pelayaran sempit sehingga kapal yang melintasi perairan tersebut harus memperlambat kecepatan di bawah 10 knot. Selain itu kondisi di sekitar lokasi, banyak batu karang dan pulau-pulau kecil. Arus pada selat cukup kencang dan bergelombang. Kondisi ini sangat menguntungkan para perompak naik ke kapal sasaran dan melakukan aksi kejahatan.

Wilayah perairan tersebut merupakan pintu gerbang ke kawasan Asia yang menghubungkan Lautan Hindia dengan Laut Cina Selatan. Daerah tersebut merupakan tempat kapal-kapal dari penjuru dunia, keluar dan masuk pelabuhan Singapura yang merupakan pusat perdagangan Asia. Lebih dari 140 kapal melalui Selat Singapura setiap harinya, membawa kargo dari dan ke pelabuhan tersibuk di dunia itu.

Berbagai media massa asing memuat berita-berita kasus perompakan ini, dan itu tentu makin menimbulkan citra buruk bagi Singapura dan Indonesia. Soalnya media massa asing menyebut-nyebut, di antara pelaku perompakan terdapat oknum keamanan setempat ikut terlibat.

                                                                      * * *

KELIHAIAN para perompak ini terlihat sampai pada kemampuannya memanfaatkan hukum internasional. Memang di bawah hukum internasional, polisi Singapura dapat mengejar perompak sampai ke perairan internasional. Namun setelah perompak berada di perairan Indonesia, polisi Singapura harus minta izin dari pemerintah Indonesia untuk memasuki wilayah perairan Indonesia. Begitu pula sebaliknya.

Operasi dan patroli gabungan bersama antara Singapura dan Indonesia yang dilancarkan sejak bulan Juni 1992 lalu untuk sementara ini berhasil mengikis habis aksi perompakan di Selat Philips dan Selat Singapura. "Lima bulan terakhir ini, tidak terdengar lagi aksi perompakan di Selat Philips dan Selat Singapura," kata Kapolres Kepulauan Riau Barat di Pulau Batam, Letkol (Pol) Drs Wenny Warouw.

Dalam operasi gabungan yang dilancarkan polisi Riau bersama tim Gegana Mabes Polri pimpinan Letkol (Pol) Drs Jusuf Mangga selama satu bulan (Juli-Agustus), polisi berhasil meringkus 28 tersangka pelaku dan menyita sejumlah barang bukti. Dari 28 tersangka ini, 14 orang di antaranya dijadikan saksi, sedangkan 14 lainnya diserahkan ke penuntut umum, untuk diadili.

                                                                    * * *

HAMPIR semua tersangka yang ditangkap -- sebagian besar tuna karya -- mengaku sudah berulangkali melakukan perompakan, bahkan di antaranya residivis yang pernah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP). Syaiful Rozi misalnya, mengaku sudah 11 kali merompak. La Demi dan Nur Adam masing-masing telah 13 kali beraksi, dan Anang alias Kuik Seng mengaku sudah 19 kali merompak.

Para pelaku itu diketahui suka bersembunyi dan berfoya-foya di gugusan pulau di Belakang Padang, antara lain di Pulau Mat Belanda atau Pulau Babi (dapat ditempuh dari Pelabuhan Sekupang, Pulau Batam dengan boat pancung dalam waktu sekitar 15 menit). Alur yang sempit dan perairan yang dangkal di kawasan itu mengakibatkan kapal patroli ukuran besar sulit melakukan pengejaran. Di Pulau Mat Belanda pula, para perompak ini menghambur-hamburkan hasil kejahatan mereka, dan bermain cinta dengan WTS.

Sebenarnya pihak berwajib sudah lama tahu Pulau Mat Belanda dijadikan sebagai tempat pertemuan para pelaku kejahatan. Namun yang sempat menjadi problem adalah tak ada bukti dan tak ada saksi korban yang melapor ke polisi Batam dan semua laporan perompakan selama ini ditujukan ke Polisi Perairan Singapura. "Untuk melakukan penyidik di luar negeri, prosedurnya berbelit-belit," kata Kapolres Kepulauan Riau Barat Letkol Drs Wenny Warouw.
                                                               
                                                                       * * *

HAMBATAN di bidang hukum ini akhirnya bisa diselesaikan dengan cara melegalisir laporan polisi yang dibuat Polres Kepulauan Riau Barat (berpedoman pada laporan Polisi Singapura) ke KBRI Singapura. Legalisasi ini dibutuhkan untuk kekuatan hukum sesuai isi Surat Edaran Mahkamah Agung RI No 1 tahun 1985 tentang kekuatan pembuktian berita acara pemeriksaan saksi dan visum et repertum yang dibuat di luar negeri oleh pejabat asing.

Surat tersebut antara lain menyebutkan, berita acara pemeriksaan saksi yang dibuat oleh polisi dari negara asing di luar negeri, baru dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah apabila memenuhi beberapa persyaratan.

Syarat itu, antara lain bahwa dalam berita acara tersebut, kehadiran penyidik Polri atau penyidik lainnya harus dicantumkan dengan tegas. Kedua, apabila kehadiran penyidik Polri/penyidik lainnya tidak dicantumkan, maka berita acara harus disahkan oleh kedutaan besar RI/perwakilan RI di negara bersangkutan. Ketiga, saksi yang bersangkutan harus didengar di bawah sumpah di hadapan penyidik Polri/penyidik lainnya atau apabila tidak, di hadapan pejabat dari kedubes RI/perwakilan RI di negara bersangkutan.

Berpegang pada surat edaran ini, Letkol Wenny Warouw berpendapat, laporan Polisi Perairan Singapura ke Polres Batam melalui alat komunikasi dianggap sudah cukup kuat hukum. "Surat ini menyiratkan kewenangan Polri melakukan penyidikan di luar negeri, sekaligus mengantisipasi permasalahan yang tidak tercakup dalam KUHAP," kata Wenny.

Namun demikian, tetap masih ada kendala seperti, waktu yang dibutuhkan (hanya) untuk keperluan minta cap legalisasi ke KBRI di Singapura relatif lama. Ini tidak seimbang dengan ketentuan KUHAP tentang kewenangan Polri menahan tersangka paling lama 20 hari. Kendala-kendala hukum semacam ini tidak dapat dianggap enteng karena bisa menjadi masalah baru yang menghambat jalannya persidangan.

Mengatasi masalah perompakan yang melibatkan negara tetangga, memang bukan pekerjaan yang mudah karena menyangkut prosedur hukum yang berbeda. Ada baiknya para pejabat tinggi yang berwenang dalam masalah ini mencari jalan keluarnya. (KOMPAS - Rabu, 04 November 1992 Halaman: 1)

Kliping features tentang perompakan, dimuat di Harian Kompas, 4 November 1992, halaman 1



 ================================================================

Kliping tulisan tentang perompakan yang dimuat di Harian Kompas 5 November 1992

    

 

  BATAM, IBARAT GULA DIKERUBUTI SEMUT

BATAM dan pulau-pulau sekitarnya kini seperti gula yang dikerubuti semut, hanya gara-gara Keppres 41/1973 yang menetapkan pulau ini dibangun dan dikembangkan menjadi daerah industri, perdagangan, alih kapal dan logistik, dan pariwisata. Bayangkan saja, pada tahun 1973 jumlah penduduk di Pulau Batam baru 6.000 jiwa, tahun 1978 menjadi 31.800, tahun 1992 ini meningkat lebih pesat lagi menjadi 115.198 jiwa. Tahun 2000 nanti, diproyeksikan menjadi 700.000 jiwa.

Di segi investasi, modal yang ditanam di Pulau Batam (sampai Juni 1992) mencapai 3,6 milyar dollar AS, yang 82,2 persen di antaranya dari investor swasta. Dari jumlah itu, paling banyak ditanam dalam bidang industri (50,02 persen), disusul bidang developer (18,4 persen) dan pariwisata (17,2 persen).

Hotel-hotel kelas bintang maupun kelas melati makin bertebar di pulau seluas 415 kilometer persegi ini (sebagai perbandingan, luas Singapura 620 km2). Sampai tahun 1992 ini tercatat 11 hotel berbintang dengan 1.128 kamar dan 16 hotel melati dengan 525 kamar yang dibangun. Belum lagi diskotek, pub, tempat karaoke, panti pijat yang terus menjamur membuat sebagian orang secara bergurau menjuluki Batam sebagai kependekan "bangunan tempat maksiat".

Benar tidaknya julukan itu, tapi yang pasti ribuan perempuan dari berbagai daerah menyerbu Batam dan bekerja di tempat-tempat hiburan di sana. Siang dan malam, diskotek, karaoke, panti pijat dibuka untuk melayani orang Singapura. Bahkan beberapa diskotek melakukan pertunjukan 'buka-bukaan' pada siang hari.

Menurut catatan Otorita Batam, arus wisatawan di Pulau Batam setiap tahun terus meningkat. Jika pada tahun 1985 tercatat 60.161 orang, pada tahun 1990 mencapai 579.305, tahun berikutnya naik lagi menjadi 606.251 orang dan tahun 1992 ini (sampai Juni) 329.065 orang. Hal ini berarti setiap bulan, sekitar 60.000 orang ke Batam atau setiap hari sekitar 2.000 orang datang ke Batam, sebagian besar warga Singapura.

                                                                         * * *

BANJIR orang Singapura mencari hiburan ke Batam ini diakui oleh mereka yang bekerja di diskotek, panti pijat, dan karaoke. Mereka lebih suka melayani orang Singapura karena dianggap lebih royal. Menurut pengakuan mereka, jika di-booking di kamar, tarifnya paling rendah seratus dollar Singapura atau sekitar Rp 130.000. Dari jumlah itu, sang 'mami' (panggilan akrab untuk germo) mengutip Rp 55.000.

Biasanya perempuan-perempuan ini dikontrak selama tiga bulan oleh "mami". Setelah tiga bulan, mereka yang usianya berkisar 16-25 tahun ini mendapat uang sesuai jumlah booking yang diterima. Perempuan-perempuan muda usia ini pulang ke kampung, membawa uang Rp 3 juta sampai Rp 5 juta, sebagai hasil 'pekerjaan' di Batam selama tiga bulan.

Fenomena seperti ini tidak hanya terlihat di Pulau Batam. Pulau-pulau di sekitar Batam pun ikut kecipratan. Pulau Kundur misalnya, yang jumlah penduduknya cuma 51.000 jiwa (masih di kawasan Kepulauan Riau, dapat ditempuh dalam waktu satu setengah jam dengan ferry dari Pulau Batam) kini sudah memiliki enam hotel dan sejumlah tempat karaoke dan diskotek.

Untuk apa hotel-hotel itu dibangun, sementara masyarakat di pulau itu masih masyarakat tradisional (nelayan dan petani)? Jawabannya (lagi-lagi) karena arus turis yang ingin mencari hiburan.
                                                               
                                                                                ***

HARGA perkembangan yang begitu pesat di Batam dan sekitarnya, memang berupa meningkatnya kuantitas dan kualitas kriminalitas di daerah yang termasuk wilayah hukum Polres Kepulauan Riau Barat. Banyaknya pendatang yang mencari kerja di tempat ini, serta warga asing datang ke Batam, merupakan salah satu faktor meningkatnya kejahatan dengan kualitas yang meningkat pula.
Kasus perampokan Bank Dagang Negara cabang Batam pada bulan Juli 1991 misalnya, merupakan contoh betapa kejahatan kekerasan sudah masuk ke wilayah ini.

Berbagai perompakan di Selat Philips dan Selat Singapura beberapa waktu lalu juga merupakan salah satu dampak perkembangan pembangunan di Batam. Tak dapat disangkal lagi, beberapa tahun terakhir ini, ribuan pencari kerja menyerbu Batam. Namun dari ribuan orang itu, banyak juga yang malah menganggur, akhirnya melakukan tindak kejahatan.

Dilihat dari identitas para pelaku perompakan yang ditangkap selama operasi bulan Agustus lalu, diketahui 75 persen di antaranya bukan penduduk asli tapi para pendatang yang tinggal di Pulau Mat Belanda, di Belakang Padang, Pulau Sambu dan Tanjung Uban di sekitar Batam.
                                                         
                                                                    * * *
UNTUK membuktikan itu, tak usah bersusah-susah meneliti secara ilmiah, karena pengakuan yang meluncur dari mulut penjahat menjelaskan semuanya. "Seperti halnya kasus perampokan di darat, para perampok di perairan ini juga mengaku ingin memperoleh uang dalam waktu singkat dan cepat. Jadi sebagian besar karena faktor ekonomi," kata Kapolres Kepulauan Riau Barat Letkol (Pol) Drs Wenny Warouw yang mengakui angka kriminalitas di wilayahnya setiap tahun cenderung meningkat.

Para buruh yang bekerja di proyek-proyek pembangunan, jika selesai kontrak, mereka menganggur lagi. Kondisi semacam ini mau tak mau merupakan salah satu penyebab terjadinya kejahatan. Biaya hidup di Batam relatif tinggi (kota termahal ketujuh di Indonesia), sementara pekerjaan tak ada, membuat orang-orang semacam ini nekad melakukan tindak kriminal untuk mempertahankan hidup.

Seorang ibu yang tinggal di Batam ketika berbincang-bincang di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta Jakarta melontarkan pendapatnya, Batam sekarang rawan kejahatan. Belum lama ini, katanya, terjadi kasus perkosaan yang menghebohkan pulau itu. "Saya jadi khawatir pada puteri saya," kata sang ibu. Menurut polisi, kasus perkosaan yang dilaporkan selama 1992 ini tujuh kasus. Tahun sebelumnya empat kasus.

Tahun 1988, jumlah kejahatan di wilayah tersebut tercatat 242 kasus, tahun 1989 meningkat menjadi 336 kasus, dan pada tahun 1992 ini (sampai Juli) tercatat 226 kasus.
                                                        
                                                                   ***
LAJU perkembangan yang lambat di Pulau Batam (dan sekitarnya) tampaknya hanya terjadi pada fasilitas kerja aparat keamanan, terutama pihak polisi. Ambil contoh, Satuan Polisi Perairan Polda Riau yang bertugas mengawasi perairan seluas 500 mil (atau sekitar 900 km) dari Pulau Jemur di perbatasan Riau dengan Sumut hingga gugusan Kepulauan Natuna di Laut Cina Selatan.

Sejauh ini, jumlah kapal patroli yang dipunyai hanya 15 buah dan itupun 13 di antaranya kapal patroli kayu yang berkecepatan (atau berkelambatan) 8 mil per jam, dan hanya dua yang memiliki kecepatan 35 mil per jam. Bisa dimaklumi mengapa kasus-kasus perompakan yang terjadi beberapa waktu lalu cukup sulit ditanggulangi sendiri, jika tak ada dukungan tim Mabes Polri.

Kondisi ini makin memprihatinkankan bila membandingkannya dengan polisi perairan Singapura dan Malaysia, yang berkapal patroli canggih. Singapura bahkan telah menganggarkan dana 37 juta dollar Singapura untuk keamanan di perairan negara itu.

Sudah selayaknyalah, Polisi Perairan Polda Riau ini mendapat perhatian lebih dari pihak berwenang. (Robert Adhi Ksp)  (KOMPAS, Kamis, 05 November 1992   Halaman: 1)

1992: Salah satu Kapal Patroli Polisi Perairan. FOTO: DOK KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA



                =======================================================

JANGANKAN AKSINYA, NAMA PUN SUDAH BIKIN REPOT

HANYA dengan namanya saja, para perompak di laut sudah bikin repot aparat keamanan. Ternyata nama bajak laut (pirate atau buccaneer) berikut gambarannya yang kita kenal sejak dulu -paling tidak lewat komik-, kurang disukai oleh kepolisian negara-negara ASEAN. Dalam Konferensi ASEANAPOL XII di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam awal Agustus 1992 lalu, para kepala kepolisian sepakat untuk tidak menggunakan istilah bajak laut tetapi sea robbery (perampokan di laut).

Konotasi bajak laut, menurut sidang petinggi kepolisian itu, seolah-olah menggambarkan situasi yang seram di mana para bajak laut dengan kapal berbendera lambang tengkorak dan dua tulang bersilangan, merajalela di lautan lepas. Padahal, kata polisi, kasus-kasus perampokan di Selat Philips, Selat Singapura, dan Selat Malaka yang terjadi belakangan ini, tidak seseram seperti bajak- bajak laut bermata satu, dan berbendera lambang tengkorak plus tulang bersilang, yang beraksi pada abad-abad silam. Meskipun, kalau menurut para korbannya, tetap bisa juga dibilang seram.

Bila membaca dan percaya pada majalah Asiaweek yang menggunakan istilah the pirates, buccaneer dan piracy dalam laporan utamanya belum lama ini, komplotan bajak laut itu beraksi secara brutal, seperti yang dilakukan sepuluh orang bertopeng di kapal tanker Valiant Carrier di sekitar Pulau Bintan, April lalu. Mereka menyerang kru kapal dan menyikat uang tunai 4.000 dollar AS serta barang berharga lainnya.

Petugas navigasi Homi Taratore mengalami luka-luka pada dada dan lengannya. Kapten kapal William Monteiro dan ABK lainnya dilempari gelas minuman. Istri kapten Wilma dan putrinya berusia tujuh bulan luka-luka kena sabet pedang pembajak. Serangan bajak laut ini dilaporkan mirip serangan komando. Di kegelapan malam, para pelaku menggunakan speedboat atau kapal nelayan. Mereka beraksi antara pukul 22.00 hingga pukul 04.00 dinihari ketika sebagian besar ABK lelap tertidur.

Barang-barang yang jadi incaran biasanya uang tunai, pesawat televisi, perhiasan, komputer serta barang kecil lainnya seperti jam tangan, kaca mata atau apa saja yang dilihat di sekitar tempat kejadian.

Siapa sebenarnya bajak-bajak laut itu? Sejumlah ABK seperti dilaporkan Asiaweek mengatakan, jika didengar logatnya, kemungkinan orang Thailand. Tapi jika melihat kenyataan, perompakan banyak terjadi di perairan Indonesia, kemungkinan lebih besar para perompak berasal dari Indonesia.

Dugaan itu tidak salah, tapi juga tidak benar seluruhnya. Sebab selain orang Indonesia, banyak juga warga Filipina yang terlibat perompakan di Laut Cina Selatan. Belum lama ini (8 Oktober) Kapal MV Banowati milik PT Arpeni Jakarta kandas di perairan Tawau, Malaysia, sekitar 16 mil sebelah utara Ligitan, Filipina Selatan.

Kapal bermuatan plywood sebanyak 3.300 meter kubik ini dalam perjalanan dari Balikpapan menuju Cina ini dirompak oleh sekitar 100 orang Filipina. Nakoda Kunto Mulyo Hadi dan 27 ABK akhirnya ditolong Kapal MP Janeta berbendera Filipina dan dibawa ke Tawau, Malaysia.

Kliping tulisan tentang perompakan yang dimuat di Harian Kompas 4 November 1992

                                                               
                                                                            ***
KASUS-kasus pembajakan di laut, perompakan, perampokan di laut atau apa pun namanya sebenarnya bukan masalah baru bagi negara yang memiliki wilayah perairan.

Dalam sejarah bajak laut dikenal nama Raga, seorang perompak dari suku Dayak, yang bersama armadanya berjaya di perairan Asia Tenggara 180 tahun yang silam. Setiap kapalnya diisi sekitar seratus pekerja dan membawa senjata serta tukang pukul. Raga pernah menghancurkan lebih dari 40 kapal Eropa dan membunuh awaknya, sebagai balas dendam setelah sebuah perahunya dihancurkan Belanda dan Inggris. Kesalahan Raga adalah membunuh kru kapal Amerika Friendship. Akibatnya Washington mengirim sebuah kapal perang untuk membumihanguskan kota yang dijadikan markas Raga.

Dalam sejarah Cina, bajak laut mendukung pemerintahan Dinasti Zhou (1111-255 Sebelum Masehi). Sementara bajak laut Jepang pernah berjaya dari Semenanjung Korea hingga ke Selat Malaka. Bersenjatakan sebilah pedang, mereka siap mati dalam setiap penyerangan. Yajiro adalah salah satu nama bajak laut Jepang yang beken. Di Malaka, konon ia pernah berjumpa dengan Pater Jesuit Santo Fransiskus Xaverius, yang memperkenalkannya pada ajaran Kristen.

Ketika Yajiro kembali ke Jepang pada tahun 1549, ia memimpin Gereja Xaverius di sana. Namun pertengkarannya dengan paderi-paderi dari Portugis, akhirnya mengakibatkan ia kembali menjadi bandit. Yajiro terbunuh dalam suatu serangan di Cina.

Zheng Chenggong, teroris di Laut Cina, juga lahir di Jepang. Ketika ayahnya, bajak laut terkemuka di Selat Taiwan, memenangkan sebuah pos dari istana Ming, Zheng ikut sang ayah ke Fujian. Pasangan ayah-anak ini membantu pasukan Ming memukul mundur Manchu. Namun ketika penyerbu mencapai Fujian, ayah Zheng menyerah. Zheng melakukan perlawanan dari Formosa, memaksa keluar Belanda pada tahun 1661. Ia orang pertama yang menyerahkan Taiwan di bawah kekuasan Cina. Zheng merencanakan untuk mengusir Spanyol dari Filipina, namun ia lebih dulu meninggal dunia.

Di teluk barat India, Kanjohi Angria merajalela pada abad ke- 17. Bagi kerajaan Maratha, ia seorang laksamana yang perkasa. Namun bagi Inggris dan Portugis, ia merupakan ancaman. Kekuatannya dapat membuat ia membangun sebuah benteng yang tinggi, yang dapat memantau kota Bombay.

Seorang ratu bajak laut, janda Qing dikenal pada awal abad ke- 19 setelah suaminya yang juga bajak laut tewas terbunuh. Armada Cina berulangkali gagal menangkap sang janda yang selalu lolos dari sergapan. Namun akhirnya ratu bajak laut ini tewas di tangan komplotan penyelundup.
                                                             
                                                                 ***

BAGAIMANA dengan perompak-perompak asal Indonesia ? Beberapa nama pelaku yang berhasil ditangkap Satuan Polisi Perairan Polda Riau awal tahun ini dan sekarang dalam status terhukum adalah La Asih (47) asal Bao-bao Buton (Sulawesi Selatan), Aprusani bin Nawawi (36) asal Tanjungraja (Sumatera Selatan), Syamsul Bahri bin Jamaludin (34) asal Baturaja (Sumsel), Zailani alias Arifin (38) asal Kaloko (Sumsel), Zulkifli (28) asal Ogan Komering Ilir (Sumsel) dan Marius bin Yahya (32) asal Pemalang (Jawa Tengah).

Latar belakang pendidikan semua pelaku perompakan ini adalah sekolah dasar. Mereka merantau ke Batam dan tinggal di pulau-pulau kecil di sana, sebagian besar di Pulau Babi (atau Pulau Mat Belanda) di Kecamatan Belakang Padang, Batam.

Beberapa perompak menggunakan sebuah sampan kayu dengan mesin Yamaha double 40 PK. Mereka juga membawa kayu sepanjang 6 hingga 8 meter dengan sebuah cantolan besi, senjata api dan sebuah jerigen plastik berisi 60 liter bahan bakar.

Kelompok lain menggunakan sampan dengan mesin yang sama. Banyak perompak bertindak seolah-olah nelayan penangkap ikan sambil menunggu sasaran mereka. Jika dicegat oleh aparat keamanan Indonesia, mereka menyembunyikan senjata dan kabur ke pulau terdekat.

Para perompak diketahui berkumpul di Pulau Mangkai, tak jauh dari Pulau Tujoh. Di sinilah mereka mengamati kapal yang akan jadi sasaran. Kelompok lainnya bermarkas di Pulau Sekanak (yang dapat ditempuh sepuluh menit dari Pulau Belakang Padang), kemudian bertemu di Tanjung Uma (Batam). Kelompok lainnya berkumpul di Pulau Mat Belanda, tempat yang sangat strategis untuk mengamati kapal yang lewat melalui teropong.

Dengan modus operandi semacam ini, apakah para pelaku bisa disebut sebagai bajak laut ? Mungkin polisi atau aparat keamanan lainnya boleh saja keberatan dengan istilah bajak laut, namun yang pasti, istilah apa pun namanya, para anak buah kapal tetap tak suka jadi korban perompakan atau perampokan di laut. Yang paling penting bagi mereka adalah bagaimana kapal yang melintas di laut, aman dari gangguan perompakan. (Robert Adhi Ksp) (KOMPAS - Rabu, 04 Nov 1992   Halaman: 16)



 

Komentar

Posting Komentar