Di tengah ramainya pembahasan mengatasi perkelahian pelajar akhir-akhir ini, sebenarnya sudah solusi ampuh yang dilakukan oleh Polri. Salah satu putra terbaik Polri, Mayor Jenderal Polisi Purnawirawan I Gusti Made Putera Astaman, pada tahun 1970-an sudah menggagas dan menerapkan Patroli Keamanan Sekolah di Jakarta dan kemudian diikuti sejumlah daerah.
Ketika menjabat Kepala Direktorat Lalu Lintas (Kaditlantas) Polda Metro Jaya tahun 1973-1978, Putera
Astaman memperkenalkan Patroli Keamanan Sekolah (PKS) sekaligus memassalkannya.
Waktu itu Astaman berpendapat, polisi tak bisa selamanya nongkrong
terus-menerus di sekolah, untuk mencegah perkelahian pelajar.
Karena itu para
siswa perlu dilatih secara swakarsa mengamankan lingkungan sekitarnya. Jika
setiap sekolah memiliki 30 orang siswa yang berdisiplin tinggi dan memiliki
visi kamtibmas ke depan, maka setidaknya mereka harus dapat mempengaruhi
teman-teman lainnya. Konsep ini ternyata merambah ke daerah- daerah
lainnya. Bahkan di Jakarta sendiri, Patroli Keamanan Sekolah berkembang dan didukung Pemprov DKI
Jakarta.
Bagaimana nasib Patroli Keamanan Sekolah saat ini? Mengapa Polda Metro Jaya dan Pemprov DKI tidak mencoba menerapkan lagi Patroli Keamanan Sekolah yang pernah digagas Pak Putera Astaman?
Pak Putera Astaman seorang polisi yang enerjik dan memiliki visi memajukan Polri. Putera Astaman terakhir menjabat Deputi Kapolri Bidang Operasi (Deops) -- dahulu jabatan ini jabatan strategis, orang nomor dua di bawah Kapolri, yang mengendalikan bidang operasi Polri selain Deputi Bidang Administrasi (Demin).
Saya punya kenangan manis bersama Pak Putera Astaman ketika meliput Sidang Interpol di Dakar, Senegal tahun 1992 silam. Bersama Pak Putera Astaman pula, kami melanjutkan perjalanan, mengunjungi Markas Besar Interpol di Lyon, Perancis dan Markas Besar Scotland Yard di London, Inggris. Sungguh kenangan tak terlupakan.
Bertahun-tahun kemudian, saya bertemu lagi dengan Pak Putera Astaman tahun 2011 lalu. Saat itu ia masih tampak sehat untuk orang berusia 73 tahun. Meski sudah pensiun dari Polri, Pak Putera masih mencintai Polri. Ini terlihat dari masih banyaknya gagasan yang disampaikan untuk memajukan Polri. Entah bagaimana respon petinggi Polri saat ini atas gagasan Pak Putera tersebut.
bersama Mayjen Pol Purn IGM Putera Astaman, mantan Deputi Kapolri Bidang Operasi (Deops) 1990-an, di kantornya di Pondok Indah, Jaksel, Jumat (29/7/2011). DOK PRIBADI: ROBERT ADHI KSP |
Berikut ini tulisan saya tentang IGM Putera Astaman, yang dimuat di Harian Kompas, 30 Desember 1993 lalu.
I Gusti Made Putera Astaman ketika menjabat Deputi Kapolri Bidang Operasi (Deops) tahun 1991 dengan pangkat Mayjen (sekarang Irjen). FOTO: DOKUMENTASI KOMPAS/ROBERT ADHI KSP |
Mayjen Pol (Purn) IGM Putera Astaman
KONSEPTOR SAMSAT DAN PATROLI KEAMANAN SEKOLAH
JAUH hari sebelum deregulasi didengung-dengungkan,
penyederhanaan prosedur pengurusan kendaraan bermotor sebenarnya sudah
dilakukan sejak tahun 1973 dengan berdirinya Kantor Samsat (Sistem Manunggal
Satu Atap). Dan selama 20 tahun, Kantor Samsat melayani masyarakat pemilik
kendaraan bermotor dengan lancar.
Namun ketika pertengahan tahun 1993
pengurusan STNK diumumkan berlaku kembali 5 tahun sekali, maka orang yang
paling sedih adalah Mayor Jenderal Polisi (Purnawirawan) I Gusti Made Putera
Astaman (56), konseptor Kantor Bersama Samsat. "Ini betul-betul suatu
kemunduran. Mengapa orang tidak melihat aspek historisnya?" ujarnya.
Sebelum konsep Samsat diperkenalkan, situasi pengurusan surat-
surat kendaraan pada tahun 1970-an boleh dibilang semrawut. Penggelapan pajak
kendaraan merajalela. Masyarakat yang ingin memperpanjang STNK harus membuang
waktu cukup lama karena mesti mendatangi tiga kantor. Mereka yang hendak
membayar pajak harus datang ke kantor pajak, menunggu dipanggil dan
menghabiskan satu hari.
Esoknya, mereka yang hendak membayar Sumbangan Wajib
Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), harus mendatangi kantor Asuransi
Jasa Raharja. Dan mereka pun harus mendatangi kantor polisi lalu lintas untuk
memperoleh STNK.
Bayangkan, waktu tersita tiga hari untuk mengurus perpanjangan
kendaraan bermotor. Oleh karena itulah muncul gagasan Samsat untuk
menyederhanakan semua urusan itu menjadi satu hari.
Putera Astaman yang pada
waktu itu (tahun 1971) menjabat Kepala Bagian Operasi Ditlantas Polda Metro
Jaya mencetuskan ide ini dan diterima oleh Kapolda (saat itu) Mayjen Widodo
Budidarmo dan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Pelaksanaannya dimulai tahun
1973.
Namun pada pertengahan 1993, pemerintah memberlakukan STNK
menjadi 5 tahun sekali. Sepintas, kelihatannya kebijakan STNK 5 tahun sekali
itu menguntungkan masyarakat. Tapi pada kenyataannya, hal tersebut malah akan
merepotkan masyarakat lagi. Sementara pemerintah akan merasakan berkurangnya
pendapatan pajak kendaraan bermotor.
Situasi ini kembali mirip tahun 1970-an,
di mana pemilik kendaraan dapat melakukan "tawar-menawar" jumlah
pajak dengan oknum petugas. Tanpa hendak mengubah apa yang telah diputuskan,
Putera Astaman sebagai konseptor Samsat ini berpendapat, masalah ini tetap
harus dicari jalan keluarnya.
Wajar kalau Putera Astaman bicara serius soal Samsat. Sebab ia
merasa sedih konsepnya tentang Samsat yang sudah diberlakukan secara nasional
selama 20 tahun ini, akhirnya habis seperti tak bermakna. Padahal konsep ini
sudah berjalan baik. Kalau pun masih ada kekurangan di sana-sini, itu proses
menuju cita-cita yang diidamkan.
Tulisan tentang Putera Astaman yang dimuat di Harian KOMPAS, 30 Desember 1993 |
***
LAHIR sebagai "anak kolong" (ayahnya seorang polisi,
I Gusti Ketut Mas, terakhir berpangkat Letnan Satu dan bertugas di Singaraja,
Polda Nusra), Astaman mengaku lingkungan sekitarnya mempengaruhi perjalanan
hidupnya sebagai polisi.
Bagi Putera Astaman kelahiran Denpasar 10 Juni 1938 ini, angka
dua rupanya menjadi angka keramat. Selama 34 tahun perjalanannya sebagai
polisi, ada jabatan-jabatan tertentu yang dialaminya dua kali. Menjadi Wakil
Kapolda, Astaman mengalaminya dua kali, Wakapolda Sumbagsel (1983-84) dan
Wakapolda Jateng (1984-85).
Jabatan Direktur di Mabes Polri juga dua kali, yaitu Direktur
Pendidikan (1985-86) dan Direktur Bimbingan Masyarakat (1988-89). Jabatan Kapolda
pun dua kali, yakni Kapolda Sulselra (1986-88) dan Kapolda Sumbagsel (1989-91).
Sampai akhirnya Putera Astaman menjadi "orang nomor dua" di Mabes
Polri sebagai Deputi Kapolri bidang Operasi (1991-93).
Pada akhir perjalanannya sebagai polisi, Putera Astaman
menerima penghargaan Bintang Kebesaran Malaysia berupa Bintang Johan Mangku
Negara (JMN) dari Yang Dipertuan Agung Sultan Azlan Muhibbuddin Shah di Istana
Negara Kuala Lumpur.
Ini merupakan penghargaan tertinggi yang pernah diterima
perwira tinggi Polri selama ini. Bersama Kolonel (Pol) Moerdiono Dharmo,
Kasubdit Polisi Perairan Polri, Astaman menerima Bintang Kebesaran Malaysia itu
pada 28 September 1993 silam.
Sejak menjabat Wakil Asisten Operasi Kapolri (jabatan ini
sekarang sudah dihapus) tahun 1984 hingga menjadi Deputi bidang Operasi,
Astaman dinilai banyak berperanan meningkatkan hubungan Polri dengan PDRM
(Polis Di Raja Malaysia). Hubungannya dengan Tun Sri Mohammed Haniff (mantan
Kepala Polisi Malaysia) sampai saat ini pun masih kental, meski tidak melalui
jalur formal.
***
SELAIN mencetuskan konsep Samsat, Putera Astaman juga
penggagas dan pelaksana "daerah bebas becak" di DKI Jakarta. Tahun
1971, saat menjabat Kepala Bagian Operasi Ditlantas Polda Metro Jaya, Astaman
dibantu pihak-pihak terkait, melakukannya secara bertahap dengan beberapa
rayon.
"Inilah yang paling mengesankan saya. Berperan sebagai pencetus
ide, sekaligus pelaksananya. Itu kebahagiaan yang sukar dilukiskan,"
katanya.
Saat menjabat Kaditlantas Polda Metro Jaya (1973-1978), Putera
Astaman memperkenalkan Patroli Keamanan Sekolah (PKS) sekaligus memassalkannya.
Waktu itu Astaman berpendapat, polisi tak bisa selamanya nongkrong
terus-menerus di sekolah, untuk mencegah perkelahian pelajar.
Karena itu para
siswa perlu dilatih secara swakarsa mengamankan lingkungan sekitarnya. Jika
setiap sekolah memiliki 30 orang siswa yang berdisiplin tinggi dan memiliki
visi kamtibmas ke depan, maka setidaknya mereka harus dapat mempengaruhi
teman-teman lainnya. Konsep PKS ini ternyata merambah ke daerah- daerah
lainnya. Bahkan di Jakarta sendiri, PKS berkembang dan didukung oleh Pemda DKI
Jakarta.
Ketika menjabat Direktur Bimmas Polri (1988-89), Putera
Astaman-lah yang pertama kali memprakarsai apel besar satpam. Setiap tanggal 30
Desember, satpam memperingati hari ultah korpsnya dengan semarak. Astaman
melihat pentingnya peranan satpam untuk membantu tugas-tugas Polri.
Apa komentarnya tentang UULAJ ? Putera Astaman melihat UU ini
memiliki jangkauan ke depan. Penegakan hukum seperti Operasi Zebra diakuinya
tak bisa menyulap lalu lintas langsung membaik. Kampanye tertib lalu lintas
harus dilakukan terus-menerus dan itu usaha yang tak pernah selesai, sebab para
pengemudi baru selalu muncul setiap hari.
***
MESKIPUN sudah pensiun dari dinas Polri sejak pertengahan
tahun 1992 silam, Mayjen Polisi I Gusti Made Putera Astaman --terakhir menjabat
Deputi Kapolri bidang Operasi-- ini masih memperlihatkan gairah hidup yang
tinggi. Stamina tubuhnya pun masih kuat. Ini karena pengaruh Orhiba (olah raga
hidup baru) yang ditekuninya sejak tahun 1987 ketika masih menjabat Kapolda
Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra) di Ujungpandang.
Menikah dengan Ayu Made Sutiti (52), ia dikaruniai empat orang
anak yang sudah dewasa, masing-masing AA Ngurah Wirawan (28), AA Maswijaya
(25), AA Mayun Wirastiti (23), dan AA Ngurah Agung Wirayudha (28).
Setelah memasuki masa pensiunnya, Putera Astaman yang telah
menerima Bintang Bhayangkara Pratama dari Presiden RI ini, sempat diusulkan
menjabat Irjen di Depsos dan Deparpostel, juga pernah dicalonkan sebagai
Gubernur Bali, walau akhirnya mentok.
Putera Astaman yang hingga kini masih aktif sebagai Ketua Umum
Lemkari, anggota Dewan Pembina Peruman Wulaka Pariwisada Hindu Dharma Pusat dan
Ketua Bidang Sosial Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman, sebenarnya
termasuk putra terbaik Polri.
Gagasan dan pemikirannya masih segar. Banyak
sudah gagasan yang diajukan dan dilaksanakannya selama 34 tahun perjalanannya
menjadi polisi. Bahkan beberapa di antaranya masih dipakai dan digunakan oleh
Polri sampai sekarang.
Dari kantor barunya di gedung PT Djajanti Group di bilangan
Jakarta Pusat, Putera Astaman yang menjabat salah seorang direktur perusahaan
yang berperan dalam pembangunan kawasan Indonesia Timur ini kelihatan masih
enerjik. Olah raga golf dan tenis tetap menjadi bagian hidupnya. "Saya
masih bersyukur dapat menyelesaikan tugas di kepolisian dengan selamat dan
kepala tegak.." (Robert Adhi Ksp) (KOMPAS, 30 Desember 1993)
Saya Balik Saya by Guntur Irawan Subagiyo
BalasHapus