Pertama ke Luar Negeri 1991: Seoul dan Panmunjom

Panmunjom. Zona demiliterisasi di perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan ini seringkali menjadi bagian dari adegan film-film action. Yang saya ingat, Panmunjom menjadi adegan pembuka film "Salt" yang dibintangi Angelina Jolie (diputar Juli 2010), dan film James Bond 007 "Die Another Day" dibintangi Pierce Brosnan dan Halle Berry (diputar tahun 2002),

Dua film tentang agen rahasia itu diputar lagi di televisi berlangganan HBO dan Cinemax. Ingat Panmunjom, saya jadi ingat tugas pertama saya ke luar negeri November 1991 silam. Pada waktu itu Pimpinan Kompas menugaskan saya mengikuti undangan Garuda Indonesia yang menggelar misi dagang dan bursa pariwisata di Seoul. Tugas ini semacam refreshing, keluar dari tugas rutin sehari-hari. Sungguh menyenangkan.

Saya memanfaatkan perjalanan dinas luar negeri ke Korea Selatan dengan memperpanjang waktu kunjungan. Kepala Desk Kota Moch S Hendrowijono justru yang mengusulkan agar saya mengambil extend. Acara utama sebenarnya mengikuti travel mart di Seoul, atas undangan Garuda Indonesia. 

Setelah acara itu selesai, saya diizinkan memperpanjang dua hari untuk melakukan perjalanan ke Panmunjom, desa pertanian yang nyaris lenyap ketika Perang Korea berkecamuk (1950-1953), yang terletak di pinggir lembah di barat laut Sungai Imjin, sekitar 56 kilometer (35 mil) arah utara kota Seoul.

Suvenir yang dibeli dari Panmunjom ketika ke Korea Selatan tahun 1991.
FOTO: ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA


Selain karena kerapkali disebut-sebut dalam berita dunia sebagai tempat perundingan Korea Selatan dengan Korea Utara, Panmunjom juga salah satu obyek wisata bagi wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Korea. Panmunjom merupakan tempat bersejarah, terletak pada posisi garis lintang 38, di mana wakil-wakil Amerika dan Korea Selatan di Komisi Gencatan Senjata Militer  PBB mengadakan pembicaraan berkala dengan perunding dari Korea Utara dan China untuk saling mengawasi persetujuan gencatan senjata yang telah ditandatangani di tempat ini pada 27 Juli 1953 silam.

Secara politis, Panmunjom merupakan daerah yang "tidak berpihak", berada di kawasan zona demiliterisasi (The Demilitarized Zone disingkat DMZ), sebuah garis demarkasi selebar 4.000 meter dengan panjang 243 km yang berlekuk-lekuk membentang di pertengahan semenanjung Korea dari Laut Kuning sampai Laut Timur.

Melewati daerah Pyokche, terlihat monumen prajurit Angkatan Bersenjata Filipina yang ikut bertarung melawan agresor komunis. Filipina merupakan satu dari 16 negara yang ikut bertempur melawan pasukan Korea Utara. Negara lainnya yang tergabung dalam pasukan perdamaian PBB adalah Australia, Belgia, Kanada, Kolombia, Ethiopia, Perancis, Yunani, Luxemburg, Nederland, Selandia Baru, Thailand, Turki, Afrika Selatan, Inggris dan Amerika Serikat.

Tak berapa jauh dari monumen prajurit Filipina, terlihat pula monumen para prajurit marinir Amerika Serikat dan serdadu Korea Selatan. Di sekitar monumen ini digelar sejumlah tank, pesawat terbang, helikopter yang digunakan selama Perang Korea. Di kawasan ini dibangun patung Presiden AS Harry S. Truman, di bawahnya tertera isi perintah Truman kepada Jenderal Douglas Mac Arthur agar memimpin pasukan PBB terdiri dari 16 negara, melawan tentara komunis Korea Utara.

Sebagai obyek wisata, Panmunjom memang unik dan menarik. Di tengah situasi "yang mudah berubah", kita dapat menyaksikan pemandangan indah di kawasan ini dari puncak Freedom House, sebuah paviliun bergaya arsitektur Korea berlantai tiga yang dibangun tahun 1965, terletak di kawasan yang disebut Joint Security Area yang dijaga pasukan PBB.

Museum Perang Korea di Seoul, 1991.
FOTO: DOK ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA

Selain ke Panmunjom, saya juga ke Museum Perang Korea dan ke kantor Korea Broadcasting System (KBS). Kalau tak salah ingat, dulu saya bertemu dengan penyiar Radio Korea yang berbahasa Indonesia.  Ini semua tugas sampingan karena tugas utama di Korea Selatan adalah mengikuti acara travel mart, bursa pariwisata di Seoul.

1991: bersama salah satu kru Korean Broadcasting System (KBS) di Seoul, Korea Selatan. FOTO: DOK ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA

"Travel Mart" Garuda Indonesia
Perjalanan ke Korea Selatan atas undangan Garuda Indonesia. Ada beberapa wartawan
YAng ikut dalam rombongan. Salah satunya yang saya ingat adalah Mbak Anggit Hernowo mewakili RCTI, stasiun televisi swasta pertama yang waktu itu belum lama mengudara.

Ketika tiba di Bandara Internasional Kimpo, Seoul, kami dan rombongan yang dipimpin Kepala Divisi Niaga Garuda Indonesia Max Sahulata, disambut meriah, mendapat kalungan bunga segar. Temperatur udara di Seoul saat itu di bawah satu derajat Celcius. Setelah itu kami menuju lokasi acara travel mart di Swiss Grand Hotel di Seoul.

Bandara Internasional Kimpo (sekarang Gimpo/GMP) sampai tahun 2001 adalah bandara utama di Korea Selatan. Setelah Bandara Internasional Incheon beroperasi tahun 2001, bandara ini melayani rute domestik dan rute internasional hanya ke Jepang, China, dan Taiwan.

Mendapat kalungan bunga ketika tiba di Bandara Internasional Kimpo, Seoul, Korea Selatan, tahun 1991.FOTO; DOK ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA


Tujuan utama misi dagang (17-21 November 1991) itu  selain untuk mempererat kontak dagang dalam bidang pariwisata dan ekonomi, juga untuk meningkatkan hubungan bilateral bidang sosial, kebudayaan dan politik antara Pemerintah Korea Selatan dan Republik Indonesia.

Menurut Max Sahulata, pembukaan jalur perdana Denpasar - Seoul merupakan bagian dari usaha Garuda Indonesia untuk meningkatkan arus pariwisata ke Indonesia yang oleh pemerintah telah ditargetkan 3,5 juta pada akhir Pelita V.

1991: Peresmian jalur perdana penerbangan Garuda Indonesia Denpasar-Seoul di Seoul, Korea Selatan. FOTO: DOK KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA
1991: Pertunjukan kesenian Indonesia di Little Angeles Theater, Seoul, Korea Selatan mewarnai peresmian jalur penerbangan perdana Garuda Indonesia rute Denpasar-Seoul. FOTO: DOK KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA




Sejak dibukanya jalur penerbangan Jakarta-Seoul tahun 1989 sampai 1991, sekitar 45.000 orang Korea datang ke Indonesia untuk keperluan bisnis dan sebagai wisatawan.

Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan (waktu itu) adalah Rudolf Kasenda, mantan Kepala Staf Angkatan Laut RI. Pak Kasenda mengaku masih senang belajar bahasa Korea. Ia berpidato dalam bahasa Korea ketika membuka pertunjukan kesenian di Little Angeles Theater, Seoul.

1991: Little Angeles Theater, Seoul. 
1991: Seoul, Korea Selatan




Di antara anggota delegasi Indonesia, ada Dessy Hendro Guyanto (waktu itu berusia 19 tahun), Putri Pesona Indonesia 1991 dan juara I Lomba Busana Remaja Tradisional ASEAN 1991. Ia mewakili Badan Promosi Pariwisata Indonesia.

1991: Seoul, Korea Selatan. FOTO: DOK KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA

Kota Seoul pada tahun 1991 menunjukkan kelas sebagai kota internasional. Pada saat itu, pemerintah kota sudah membangun hunian vertikal.

Puluhan bangunan apartemen terlihat rapi dari atas gedung kembar Lotte. Suasana kota juga menyenangkan. Banyak tempat publik yang memberi ruang bagi warga kota untuk bersantai. Tempat parkir sepeda terlihat di mana-mana. Alangkah asyiknya jika kota dibangun dengan konsep seperti itu.

Tugas pertama saya ke luar negeri tahun 1991 itu sungguh mengesankan. Bukan hanya sekadar refreshing, tetapi juga membuka wawasan berpikir. Saya memperoleh banyak pengetahuan baru. Selalu belajar hal-hal baru. Menjadi wartawan memang mengasyikkan.


Robert Adhi Ksp
Serpong, 5 September 2011

Komentar