Ketika ditugaskan di Tangerang pertengahan tahun 1988, saya sering menjelajahi daerah ini dengan Vespa. Pada awalnya saya diizinkan menggunakan Vespa pinjaman kantor. Meski agak butut, tetapi Vespa itu kuat dan bisa diajak jalan jauh. Beberapa bulan kemudian, saya mendapat fasilitas pinjaman Vespa baru. Dengan Vespa itu, saya sering bolak-balik Jakarta-Tangerang, 60 km pergi-pulang setiap hari, lewat Jalan Daan Mogot. Jarak 60 km itu belum termasuk jarak tempuh ke lokasi kejadian yang lumayan jauh, bisa mencapai 40 km dari kota Tangerang.
Selama bertugas di Tangerang dua tahun, saya nge-kos di dalam Kota Tangerang. Alasannya sederhana, supaya dekat dengan kantor Bupati Tangerang, kantor Kota Administratif Tangerang, markas Polres Tangerang, Rumah Sakit Umum Tangerang, kantor Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri Tangerang.
Tapi jangan berpikir semuanya menjadi mudah dan dekat. Setiap kali saya mendapat informasi peristiwa, saya selalu berupaya menuju lokasi kejadian agar saya menulis berita lebih lengkap, tidak sekadar informasi dari polisi maupun dari rumah sakit.
Jalan rusak dan hancur menjadi pemandangan biasa di Tangerang pada waktu itu. Jika musim hujan tiba, jalan di banyak lokasi, penuh kubangan air.
Jalan di sekitar Terminal Cimone Tangerang rusak berat. Foto ini diambil awal Februari 1989 lalu. FOTO: KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA |
Belum satu bulan saya bertugas di Tangerang, saya mendapat pengalaman seru. Mengapa seru? Berita-berita peristiwa menjadi ciri khas berita di Desk Kota. Nah, pada suatu hari, saya mendapat informasi ada orang tenggelam di sungai. Bersama kawan saya dari Pos Kota, Sukri, saya naik Vespa menuju lokasi di Pasir Gintung, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang. Pada waktu itu saya belum mengenal betul wilayah Tangerang. Vespa melaju di Jalan Raya Serang yang cukup mulus. Sepuluh kilometer berlalu, 20 km berlalu, saya bertanya pada Sukri, di mana lokasi yang akan dituju. Sukri menjawab meyakinkan, "Jalan terus saja!"
Setelah melintasi sejauh 30 km, saya bertanya lagi. Sukri akhirnya meminta saya berhenti dan bertanya kepada warga setempat. Ternyata lokasi yang dicari masih 10 kilometer lagi. Setelah melakukan perjalanan lebih dari satu jam dengan Vespa, akhirnya saya dan Sukri tiba di Pasir Gintung. Setelah bertanya sana-sini, akhirnya kami menemukan lokasi yang dicari.
Sungai Cidurian di mana empat santri Pramuka tewas tenggelam itu berlokasi di perbatasan Kabupaten Serang. Pantas saya merasa kok jauh banget dan tidak sampai-sampai. Saya penasaran. Begitu tiba di kantor, saya cek di peta. Astaga, rupanya saya menempuh perjalanan yang lumayan jauh hingga ke perbatasan Tangerang-Serang. Tapi bagi saya, itu perjalanan yang seru.
Hari-hari berikutnya, saya menikmati pekerjaan menjadi wartawan di Tangerang. Berita-berita peristiwa sering saya kejar. Pada masa itu, sering sekali terjadi perampokan di rumah-rumah penduduk, yang lokasinya sepi dan relatif jauh dari pusat keramaian.
Pernah suatu hari saya bersama Sukri ke Cikupa. Kami ke lokasi perampokan. Tapi, lagi-lagi, saya mendapatkan pengalaman luar biasa. Kondisi jalan ke lokasi sangat buruk. Jalan rusak bergelombang dan penuh kubangan air pada musim hujan. Knalpot Vespa yang saya kendarai pun jadi korban: copot karena jalan hancur dan rusak.
Alhasil, ketika harus ke kantor Kompas di Jakarta, saya mengendarai Vespa melaju di Jalan Daan Mogot dengan suara berisik. Untunglah Jalan Daan Mogot, jalan arteri yang menghubungkan Tangerang dan Jakarta Barat, setiap hari sudah bising karena banyak truk dan bus melintas di sana. Malamnya, saya menginap di mess Kompas dan esok paginya, saya ke bengkel Kompas, membetulkan Vespa kesayangan, yang knalpotnya tercopot tersandung batu di jalan yang rusak.
Yang selalu membuat saya puas adalah berita yang saya kejar hingga ke lokasi kejadian dengan penuh perjuangan itu, selalu mendapat tempat, kalau tidak di halaman 1 di bawah, ya menjadi berita utama halaman Metropolitan (dulu disebut Desk Kota). Kepuasan wartawan adalah jika berita yang diperoleh dengan susah payah dan penuh perjuangan, dimuat di halaman satu.
Redaktur Kota waktu itu, kalau tidak salah ingat, dijabat rangkap oleh Purnama Kusumaningrat (inisialnya PUR), yang juga Wakil Redaktur Pelaksana. Sedangkan Redaktur Desk Daerah (sekarang Nusantara) adalah Dedy Pristiwanto atau PR. Sekarang Mas PUR tidak lagi bersama Kompas, sedangkan Mas PR sudah pensiun dari Kompas, tapi tetap memimpin suratkabar Warta Kota.
Seringnya berita-berita dari Tangerang masuk halaman 1 dan HL Kota, membuat sejumlah media mengirimkan wartawannya ke Tangerang. Ini disampaikan seorang wartawan Media Indonesia, Salamat Saragih. Abang ini terus terang bilang kepada saya, "Ah gara-gara kau, aku ditugaskan di Tangerang ini. Banyak kali berita-beritamu di Kompas."
Robert Adhi Ksp
Serpong, 2 September 2012
Komentar
Posting Komentar