Tahun 1989. Waktu itu baru satu tahun saya bertugas di Tangerang. Suatu hari pada pertengahan bulan Mei, saya menulis berita berjudul "Tersangka Penjahat Dibakar oleh Massa" yang dimuat di halaman 1 Harian Kompas 15 Mei 1989. Dalam berita itu disebutkan, Kam (25) dihakimi dan dibakar massa setelah kepergok mencuri di rumah H Samid, penduduk Kampung Selon, Desa Kaliasin, Kecamatan Balaraja, Tangerang.
Sore harinya, saya menerima telepon dari Redaktur Desk Kota, Purnama Kusumaningrat, yang juga Wakil Redaktur Pelaksana. Mas Pur, panggilan akrabnya, meminta saya menemui Komandan Kodim (Dandim) 0506 Tangerang di rumahnya.
Saya pikir ada apa gerangan? Mengapa saya harus menemui Pak Dandim malam itu juga? Dari sisi jurnalistik, berita itu tidak ada kesalahan. Mas Pur menjelaskan, Pak Dandim Tangerang keberatan dengan berita halaman 1 hari itu. Saya diminta menemui Dandim.
Lalu apa hubungannya berita itu dengan Dandim, tanya saya dalam hati. Yang paling tepat, ini urusan polisi. Meski pikiran berkecamuk, saya menjalankan perintah atasan. Saya menenangkan hati dan memberanikan diri memarkir Vespa di rumah dinas Dandim, persis di sebelah kantor Kodim 0506 Tangerang.
Setelah saya menemui Dandim, barulah saya tahu Pak Dandim ditegur keras oleh Pangdam Jaya Mayjen TNI Surjadi Soedirdja, yang mempertanyakan mengapa Babinsa di Balaraja tidak mencegah massa membakar penjahat itu.
"Anda tahu? Subuh-subuh Pangdam sudah baca Kompas hari ini dan membaca berita Anda di halaman satu. Saya ditegur dan ditanya mengapa Babinsa tidak mencegah aksi pembakaran itu," kata Dandim, kita sebut saja Letkol B.
Mungkin Dandim jengkel disemprot Pangdam pagi-pagi buta, jadi gantian dia melampiaskan amarahnya pada saya. Mendengar amarahnya, saya yakin Pak Dandim pasti sudah menegur keras Danramil Balaraja dan Babinsa-nya, mengapa tidak mencegah massa membakar penjahat itu.
Apa yang dilakukan Pangdam Jaya (waktu itu) Mayjen TNI Surjadi Soedirdja sudah tepat. Ia menegur Dandim Tangerang: mengapa Danramil dan Babinsa sebagai perangkat Kodam Jaya tidak bisa mencegah massa? Ini artinya Pak Surjadi memiliki kepedulian yang sangat tinggi. Pada masa itu, peranan TNI dalam kehidupan bermasyarakat sangat besar.
Tapi yang dilakukan Pak Dandim terhadap saya, tidaklah tepat. Saya tidak melakukan kesalahan jurnalistik apa pun. Urusan ini pun sebenarnya urusan polisi. Malah Pak Dandim itu seharusnya bertanya, mengapa aparatnya tidak melakukan pencegahan saat itu, dan bukan dengan memanggil wartawan penulis berita.
Singkat cerita, pada malam itu, saya disemprot habis oleh Letkol B. Nada suaranya selalu tinggi. Saya hanya bisa diam dan mendengarkan semprotannya. Perintah dari kantor saya waktu itu: hanya mendengarkan, tak perlu berdebat. Sungguh, baru kali itu saya dimaki-maki tentara gara-gara berita.
Satu jam kemudian, barulah secangkir teh hangat keluar. Mungkin amarahnya sudah keluar semua. Nada suaranya sudah tidak tinggi lagi.
Tapi ini benar-benar pengalaman seru dan menegangkan bagi saya. Pada masa rezim Soeharto, tentara memang sangat berkuasa. Keberanian saya untuk datang sendirian ke rumah Dandim pada malam hari, lalu mendapat "semprotan" Pak Dandim, menjadi pengalaman berkesan dalam perjalanan jurnalistik saya.
Beberapa tahun setelah itu, tahun 1990-an, saat saya mendapat tugas meliput acara-acara di Kodam Jaya, saya mencari-cari Letkol B, tapi saya tidak bertemu dengannya lagi. Kabarnya saat itu ia bertugas di Timtim. Entah di mana Pak Dandim itu sekarang.
Robert Adhi Ksp
Serpong, 4 September 2012
Sore harinya, saya menerima telepon dari Redaktur Desk Kota, Purnama Kusumaningrat, yang juga Wakil Redaktur Pelaksana. Mas Pur, panggilan akrabnya, meminta saya menemui Komandan Kodim (Dandim) 0506 Tangerang di rumahnya.
Saya pikir ada apa gerangan? Mengapa saya harus menemui Pak Dandim malam itu juga? Dari sisi jurnalistik, berita itu tidak ada kesalahan. Mas Pur menjelaskan, Pak Dandim Tangerang keberatan dengan berita halaman 1 hari itu. Saya diminta menemui Dandim.
Lalu apa hubungannya berita itu dengan Dandim, tanya saya dalam hati. Yang paling tepat, ini urusan polisi. Meski pikiran berkecamuk, saya menjalankan perintah atasan. Saya menenangkan hati dan memberanikan diri memarkir Vespa di rumah dinas Dandim, persis di sebelah kantor Kodim 0506 Tangerang.
Setelah saya menemui Dandim, barulah saya tahu Pak Dandim ditegur keras oleh Pangdam Jaya Mayjen TNI Surjadi Soedirdja, yang mempertanyakan mengapa Babinsa di Balaraja tidak mencegah massa membakar penjahat itu.
"Anda tahu? Subuh-subuh Pangdam sudah baca Kompas hari ini dan membaca berita Anda di halaman satu. Saya ditegur dan ditanya mengapa Babinsa tidak mencegah aksi pembakaran itu," kata Dandim, kita sebut saja Letkol B.
Mungkin Dandim jengkel disemprot Pangdam pagi-pagi buta, jadi gantian dia melampiaskan amarahnya pada saya. Mendengar amarahnya, saya yakin Pak Dandim pasti sudah menegur keras Danramil Balaraja dan Babinsa-nya, mengapa tidak mencegah massa membakar penjahat itu.
Apa yang dilakukan Pangdam Jaya (waktu itu) Mayjen TNI Surjadi Soedirdja sudah tepat. Ia menegur Dandim Tangerang: mengapa Danramil dan Babinsa sebagai perangkat Kodam Jaya tidak bisa mencegah massa? Ini artinya Pak Surjadi memiliki kepedulian yang sangat tinggi. Pada masa itu, peranan TNI dalam kehidupan bermasyarakat sangat besar.
Tapi yang dilakukan Pak Dandim terhadap saya, tidaklah tepat. Saya tidak melakukan kesalahan jurnalistik apa pun. Urusan ini pun sebenarnya urusan polisi. Malah Pak Dandim itu seharusnya bertanya, mengapa aparatnya tidak melakukan pencegahan saat itu, dan bukan dengan memanggil wartawan penulis berita.
Singkat cerita, pada malam itu, saya disemprot habis oleh Letkol B. Nada suaranya selalu tinggi. Saya hanya bisa diam dan mendengarkan semprotannya. Perintah dari kantor saya waktu itu: hanya mendengarkan, tak perlu berdebat. Sungguh, baru kali itu saya dimaki-maki tentara gara-gara berita.
Satu jam kemudian, barulah secangkir teh hangat keluar. Mungkin amarahnya sudah keluar semua. Nada suaranya sudah tidak tinggi lagi.
Tapi ini benar-benar pengalaman seru dan menegangkan bagi saya. Pada masa rezim Soeharto, tentara memang sangat berkuasa. Keberanian saya untuk datang sendirian ke rumah Dandim pada malam hari, lalu mendapat "semprotan" Pak Dandim, menjadi pengalaman berkesan dalam perjalanan jurnalistik saya.
Beberapa tahun setelah itu, tahun 1990-an, saat saya mendapat tugas meliput acara-acara di Kodam Jaya, saya mencari-cari Letkol B, tapi saya tidak bertemu dengannya lagi. Kabarnya saat itu ia bertugas di Timtim. Entah di mana Pak Dandim itu sekarang.
Robert Adhi Ksp
Serpong, 4 September 2012
Komentar
Posting Komentar