Setelah ditugaskan di Jakarta tahun 1991, saya lebih banyak berkecimpung
dalam berita-berita kepolisian. Bulan Juni 1991, saya menulis lebih
dalam tentang Patroli Kota (Patko) setelah mengikuti perjalanan mobil
patroli selama 16 jam. Ide ini sebenarnya muncul ketika membaca laporan
wartawan yang mengikuti patroli NYPD. Saya lupa kapan, tapi saya pernah
membacanya di perpustakaan Kompas.
Laporan saya tentang Patko, dimuat tiga hari berturut-turut di Harian Kompas (10, 11, 12 Juni 1991) di halaman 1. Laporan ini saya unggah lagi di blog "Asyiknya Jadi Wartawan". Laporan ini pernah mendapat penghargaan dari Polri tahun 1991 berkaitan dengan peringatan Hari Bhayangkara.
16 Jam Bersama Patko (2)
DARI ORANG MABUK SAMPAI WTS
PUKUL 21.00 : Hampir tiga jam berlalu, situasi di kawasan Bundaran HI dinyatakan aman terkendali. Panggilan dari radio kepada Rusa 067 untuk meninggalkan Bundaran HI menuju sasaran patroli di wilayah Tanjungduren, Jakarta Barat. Mobil patroli meluncur melewati daerah Kebon Kacang, Tanah Abang. Ketika melewati sebuah gang kecil, Koptu Widodo memberi kode pada dua rekannya bahwa di mulut gang, berkumpul anak-anak muda sedang minum-minum.
Serda Eko dan Sertu Khalim dengan sigap keluar dan menghampiri mulut gang. Tapi rupanya anak-anak muda itu sudah melihat ada mobil patroli melintas. Begitu dua sersan ini muncul, mereka langsung kabur masuk gang dan menghilang. Polisi hanya menemukan tiga botol wiski. Serda Eko membuang botol-botol itu ke kali setelah memecahkannya ke tembok jembatan.
Mobil patroli melintasi daerah Bongkaran. Di sini potret masyarakat papan bawah terlihat jelas. Sejumlah wanita malam menjajakan diri. Lagu dangdut dan goyangan badan menjadi satu. "Biarlah mereka mencari makan di Jakarta, asal tak menganggu ketertiban," celetuk Koptu Widodo sambil mengisap Ji Sam Soe-nya dalam-dalam dan mengemudikan kendaraannya ke arah Slipi.
Di perempatan Tomang, mobil patroli Rusa 067 ini berhenti. Beberapa pemuda tanggung yang bergerombol di dekat lampu pengatur lalu lintas digeledah. Siapa tahu di antara mereka ada yang membawa senjata tajam. "Mau kemana kalian malam-malam begini? Jangan bergerombol begini ya...," kata Serda Eko menasihati sambil menyuruh kerumunan itu bubar.
Di bawah jembatan penyeberangan, di seberang gedung Perumtel, kembali terlihat sejumlah "wanita malam" dan "wanita pria" mejeng di tepi jalan S. Parman. Selalu saja ada lelaki iseng yang mendekati mereka.
Pukul 21.20 : Kami tiba di kantor Polsek Tanjungduren. Koptu Widodo turun, membawa lembaran kertas untuk diisi dan ditandatangani petugas Polsek setempat. "Kita melapor dulu, akan berpatroli di wilayah ini," jelas Sertu Khalim yang mendampingi Widodo masuk halaman Polsek. Lokasi kantor Polsek Tanjungduren ini berada di tengah permukiman penduduk.
Sepuluh menit kemudian, mobil patroli meluncur kembali, keluar dari jalan raya Tanjungduren ke jalan S. Parman, lalu berbelok kiri melewati jalan raya Daan Mogot. Di perempatan Pesing, Koptu Widodo membelokkan kemudi ke kiri, masuk jalan raya Kedoya. Jalan ini kelihatan rusak. Mungkin karena setiap hari dilalui berbagai jenis kendaraan, termasuk truk-truk tanah yang mempercepat kehancuran.
Pukul 22.00 : Melewati sebuah warung kecil, di kiri jalan, Koptu Widodo melihat ada gerombolan anak muda berkumpul. "Cepat ke sana, mereka tampaknya sedang mabuk-mabukan," kata Widodo memberi tanda. Mobil patroli berhenti sepuluh meter di depan dari warung tadi. Sertu Khalim dan Serda Eko pelan-pelan mendatangi mereka. Pada saat yang tepat, mereka langsung menggerebek. Sebagian sempat kabur masuk gang. Tapi anggota Patko ini sudah terlatih. Mereka mengejar salah seorang pemuda yang ternyata berniat membuang golok panjang yang dibawanya, tapi keburu ketahuan.
Pemuda itu tampak tenang-tenang saja ketika ditanya polisi, mengapa ia membawa golok. Rambutnya lurus agak gondrong, tubuhnya ceking dan jangkung, mulutnya bau minuman keras. "Kamu tahu, membawa senjata tajam tanpa izin, melanggar undang-undang ?" tanya Serda Eko. Pemuda yang tubuhnya penuh tato dan tidak membawa KTP ini kemudian disuruh masuk ke mobil dan dibawa ke Polda Metro Jaya.
Dalam perjalanan ke Mapolda, pemuda mengaku bernama Kn ini duduk di samping kiri saya. Jawaban-jawabannya tidak konsisten. Pertama ia mengaku bekerja sebagai buruh bangunan. Ketika ditanya lagi, dijawab ikut membantu dagangan orang tua berjualan jeruk. Ia juga tidak bisa menjawab, untuk apa golok yang dibawanya.
Bagi polisi, orang-orang semacam ini memang patut dicurigai. Tato di lengan kanan atas bergambar naga, di sebelah kiri bergambar bunga. Mereka bergerombol, menenggak minum minuman keras, bisa saja menodong, bisa pula melukai orang lain. "Setiap malam anggota Patko memergoki orang-orang seperti Kn," jelas Koptu Widodo.
Pada sebuah tulisannya, kriminolog Mulyana W. Kusumah menyebutkan, dalam lima belas tahun terakhir, secara umum peringkat teratas jenis kejahatan yang dilakukan anak muda dan remaja tetap ditempati oleh jenis-jenis kejahatan terhadap harta benda. Akan tetapi peningkatan kualitatif diyakini telah terjadi dengan menonjolnya keterlibatan penduduk usia muda dalam penyalahgunaan narkotika dan alkoholisme, bentuk-bentuk agresivitas kolektif dan pengelompokan pemerasan.
Pemakaian minuman keras oleh anak-anak muda memperlihatkan kecenderungan drinking behavior memang tengah berkembang sebagai suatu gejala sosial. Drinking behavior dapat memperkuat situasi- situasi yang menimbulkan kejahatan.
Untuk memahami kejahatan oleh kelompok muda harus dilihat tekanan-tekanan situasional yang dialami kelompok usia muda akibat kegagalan menjalankan role performance yang diharapkan atau tekanan- tekanan emosional yang diakibatkan oleh toleransi atas frustrasi yang rendah.
***
Pukul 22.15 : Kami tiba di Mapolda di kawasan Semanggi. Cuaca metropolitan Jakarta sangat cerah. Cahaya bulan dan bintang menerangi Ibu Kota di waktu malam. Kn dibawa dulu ke pos komando Sabhara untuk dicatat oleh petugas di sana. Kemudian dibawa lagi ke posko Yanmas (pelayanan masyarakat) di sebelah posko Detasemen Provoost.
Sambil menunggu proses pembuatan laporan di Yanmas, saya dan anggota Patko Rusa 067 ngopi dulu agar kuat melawan kantuk. Warung kopi ini rupanya memang melayani polisi-polisi yang piket malam. Sambil meneguk kopi, saya memandang dari kejauhan Markas Polda Metro Jaya yang berdiri angkuh. Setiap menit, setiap jam, polisi Ibu Kota sibuk mengamankan Jakarta dari berbagai gangguan ketertiban dan kejahatan.
Metropolitan Jakarta menyimpan kerawanan kejahatan, termasuk yang dilakukan anak-anak muda. Arus urbanisasi yang deras di Ibu Kota memang mendorong meningkatnya kemiskinan, pengangguran, dan kehadiran golongan marjinal seperti pedagang asongan, gelandangan, dan pengemis.
Kemiskinan yang berlarut-larut dan kesenjangan sosial yang makin tajam akhirnya menyebabkan orang berbuat nekad, mencuri, menodong, merampok dan membunuh sesamanya.
***
LIMA belas menit menjelang tengah malam, patroli Rusa 067 kembali meluncur ke jalanan, menuju sasaran di wilayah Tanjungduren, Jakarta Barat. Baru lima menit mobil menjelajahi jalan S. Parman, dari radio di mobil terdengar panggilan untuk Rusa-Rusa yang bertugas, bahwa ada informasi perampasan taksi Royal City di wilayah Jakarta Timur. Kami mendengar informasi itu dengan seksama.
Tak berapa lama kemudian, posko Patko mengudara kembali, menyatakan bahwa kasus tadi hanyalah salah paham antara sopir dan penumpang tentang ongkos pembayaran taksi. Sang pengemudi rupanya cepat mengontak operator, yang langsung menyampaikan informasi ini pada polisi.
Mobil melintasi Jl. Tubagus Angke di Jakarta Barat. Pemandangan di jalur hijau di daerah itu sangat kontras dengan fungsinya. Jalur hijau itu malah dijadikan tempat kencan para wanita malam, bahkan dijadikan tempat beristirahat para tunawisma.
Koptu Widodo yang duduk di belakang kemudi tiba-tiba setengah berteriak berucap, "Ada satu orang polisi di tengah kerumunan orang di jalur hijau. Kita ke sana, siapa tahu ia berada dalam kesulitan." Koptu Widodo memarkirkan mobilnya di depan sebuah apotek. Sementara Widodo menunggu di mobil, Serda Eko dan Sertu Khalim turun membawa senjata laras panjang, dan menghampiri kerumunan orang di jalur hijau di Jl. Tubagus Angke itu.
Ternyata ada keributan antara seorang wanita malam dengan lelaki teman kencannya. Sang pria babak belur dihajar sejumlah orang yang mengaku petugas keamanan di sana. Kedua sersan polisi ini berusaha menyelesaikan keributan kecil ini dengan cara-cara persuasif, sehingga tercapai perdamaian antara kedua belah pihak.
Pukul 01.15 : Radio di mobil patroli bersuara lagi, berisi informasi tentang peristiwa penembakan di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Pelaku penembakan adalah anggota Provoost berpakaian preman yang sedang berjalan kaki di halte, mengaku ditodong enam orang. Satu di antara penodong, menurut informasi polisi, adalah korban Indra Surya. "Kepada Rusa-Rusa yang paling dekat dengan TKP (Tempat Kejadian Perkara), harap meluncur ke sana," demikian perintah dari piket Patko dari radio.
Saat itu kami sedang singgah sejenak di Pos Polisi Tomang, tak jauh dari Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta Barat. Serda Eko Komaryadi mengajak rekan-rekannya untuk meluncur ke TKP.
Dalam waktu enam menit, kami tiba di TKP. Di depan halte bus kota di kawasan Bendungan Hilir, Jl. Jenderal Sudirman, mobil patroli dengan sandi Rusa 062 sudah lebih dulu tiba. Korban penembakan, Indra Surya, sudah digotong ke Rumah Sakit Jakarta di seberang jalan.
Tapi kami masih melihat bercak-bercak darahnya di aspal jalan dekat jalur hijau yang membatasi jalur cepat dan jalur lambat. Ketika kami datang, korban korban masih bernafas. Kami sempat menanyakan kepada dua orang saksi yang pada malam itu mendengar letusan senjata api. Tapi mereka mengaku tidak melihat langsung penembakan tersebut. Penembakan itu agaknya merupakan peristiwa paling menonjol selama malam ini.
Pukul 02.00: Setelah mengumpulkan informasi tentang kasus penembakan, kami melanjutkan perjalanan, melintasi Jl. KH Mas Mansyur, terus melaju ke Jl. Jatibaru, menembus Jl. Cideng Barat, muncul di Jl. KH Mohammad Mansyur dan kawasan Pasar Pagi. Koptu Widodo tetap bertahan di belakang kemudi, sambil menikmati biskuit yang dibeli dari sebuah warung.
Di kawasan Tambora, tampak bajaj-bajaj diparkir berjejer menyebabkan lalu lintas agak terganggu. Beberapa jalan utama di wilayah Tambora merupakan kawasan perdagangan yang padat lalu lintas. Aksi penjambretan dan penodongan kerapkali terjadi dengan sasaran wanita yang naik bajaj.
Ketika melewati kantor Polsek Tambora, Widodo melihat di seberang jalan ada kerumunan masyarakat. "Kelihatannya ada kecelakaan lalu lintas. Kita meluncur ke sana," ujar Widodo sembari menginjak gas, mempercepat kendaraannya, lalu memutar jalan dan mendatangi kerumunan itu.
Ternyata sebuah truk tanah B-9270-CA menyenggol mobil Kijang Super B-7900-SH mengakibatkan pintu depannya sulit dibuka. Antara sopir truk dan pengemudi Kijang terlibat cekcok mulut. Serda Eko dan Sertu Khalim ikut membantu menengahi pertengkaran itu. Akhirnya kedua pengemudi dibawa ke kantor Polsek Tambora agar persoalannya dapat diselesaikan.
Tugas seorang polisi memang tidak sekadar menangkap penjahat. Selain memiliki tanggung jawab untuk menjaga ketertiban dan memberikan rasa aman pada masyarakat, petugas patroli perlu juga sabar, setidaknya jika menghadapi mereka yang suka mabuk-mabukan. (KOMPAS, 11 Juni 1991, halaman 1)
Laporan saya tentang Patko, dimuat tiga hari berturut-turut di Harian Kompas (10, 11, 12 Juni 1991) di halaman 1. Laporan ini saya unggah lagi di blog "Asyiknya Jadi Wartawan". Laporan ini pernah mendapat penghargaan dari Polri tahun 1991 berkaitan dengan peringatan Hari Bhayangkara.
16 Jam Bersama Patko (2)
DARI ORANG MABUK SAMPAI WTS
PUKUL 21.00 : Hampir tiga jam berlalu, situasi di kawasan Bundaran HI dinyatakan aman terkendali. Panggilan dari radio kepada Rusa 067 untuk meninggalkan Bundaran HI menuju sasaran patroli di wilayah Tanjungduren, Jakarta Barat. Mobil patroli meluncur melewati daerah Kebon Kacang, Tanah Abang. Ketika melewati sebuah gang kecil, Koptu Widodo memberi kode pada dua rekannya bahwa di mulut gang, berkumpul anak-anak muda sedang minum-minum.
Serda Eko dan Sertu Khalim dengan sigap keluar dan menghampiri mulut gang. Tapi rupanya anak-anak muda itu sudah melihat ada mobil patroli melintas. Begitu dua sersan ini muncul, mereka langsung kabur masuk gang dan menghilang. Polisi hanya menemukan tiga botol wiski. Serda Eko membuang botol-botol itu ke kali setelah memecahkannya ke tembok jembatan.
Mobil patroli melintasi daerah Bongkaran. Di sini potret masyarakat papan bawah terlihat jelas. Sejumlah wanita malam menjajakan diri. Lagu dangdut dan goyangan badan menjadi satu. "Biarlah mereka mencari makan di Jakarta, asal tak menganggu ketertiban," celetuk Koptu Widodo sambil mengisap Ji Sam Soe-nya dalam-dalam dan mengemudikan kendaraannya ke arah Slipi.
Di perempatan Tomang, mobil patroli Rusa 067 ini berhenti. Beberapa pemuda tanggung yang bergerombol di dekat lampu pengatur lalu lintas digeledah. Siapa tahu di antara mereka ada yang membawa senjata tajam. "Mau kemana kalian malam-malam begini? Jangan bergerombol begini ya...," kata Serda Eko menasihati sambil menyuruh kerumunan itu bubar.
Di bawah jembatan penyeberangan, di seberang gedung Perumtel, kembali terlihat sejumlah "wanita malam" dan "wanita pria" mejeng di tepi jalan S. Parman. Selalu saja ada lelaki iseng yang mendekati mereka.
Pukul 21.20 : Kami tiba di kantor Polsek Tanjungduren. Koptu Widodo turun, membawa lembaran kertas untuk diisi dan ditandatangani petugas Polsek setempat. "Kita melapor dulu, akan berpatroli di wilayah ini," jelas Sertu Khalim yang mendampingi Widodo masuk halaman Polsek. Lokasi kantor Polsek Tanjungduren ini berada di tengah permukiman penduduk.
Sepuluh menit kemudian, mobil patroli meluncur kembali, keluar dari jalan raya Tanjungduren ke jalan S. Parman, lalu berbelok kiri melewati jalan raya Daan Mogot. Di perempatan Pesing, Koptu Widodo membelokkan kemudi ke kiri, masuk jalan raya Kedoya. Jalan ini kelihatan rusak. Mungkin karena setiap hari dilalui berbagai jenis kendaraan, termasuk truk-truk tanah yang mempercepat kehancuran.
Pukul 22.00 : Melewati sebuah warung kecil, di kiri jalan, Koptu Widodo melihat ada gerombolan anak muda berkumpul. "Cepat ke sana, mereka tampaknya sedang mabuk-mabukan," kata Widodo memberi tanda. Mobil patroli berhenti sepuluh meter di depan dari warung tadi. Sertu Khalim dan Serda Eko pelan-pelan mendatangi mereka. Pada saat yang tepat, mereka langsung menggerebek. Sebagian sempat kabur masuk gang. Tapi anggota Patko ini sudah terlatih. Mereka mengejar salah seorang pemuda yang ternyata berniat membuang golok panjang yang dibawanya, tapi keburu ketahuan.
Pemuda itu tampak tenang-tenang saja ketika ditanya polisi, mengapa ia membawa golok. Rambutnya lurus agak gondrong, tubuhnya ceking dan jangkung, mulutnya bau minuman keras. "Kamu tahu, membawa senjata tajam tanpa izin, melanggar undang-undang ?" tanya Serda Eko. Pemuda yang tubuhnya penuh tato dan tidak membawa KTP ini kemudian disuruh masuk ke mobil dan dibawa ke Polda Metro Jaya.
Dalam perjalanan ke Mapolda, pemuda mengaku bernama Kn ini duduk di samping kiri saya. Jawaban-jawabannya tidak konsisten. Pertama ia mengaku bekerja sebagai buruh bangunan. Ketika ditanya lagi, dijawab ikut membantu dagangan orang tua berjualan jeruk. Ia juga tidak bisa menjawab, untuk apa golok yang dibawanya.
Bagi polisi, orang-orang semacam ini memang patut dicurigai. Tato di lengan kanan atas bergambar naga, di sebelah kiri bergambar bunga. Mereka bergerombol, menenggak minum minuman keras, bisa saja menodong, bisa pula melukai orang lain. "Setiap malam anggota Patko memergoki orang-orang seperti Kn," jelas Koptu Widodo.
Pada sebuah tulisannya, kriminolog Mulyana W. Kusumah menyebutkan, dalam lima belas tahun terakhir, secara umum peringkat teratas jenis kejahatan yang dilakukan anak muda dan remaja tetap ditempati oleh jenis-jenis kejahatan terhadap harta benda. Akan tetapi peningkatan kualitatif diyakini telah terjadi dengan menonjolnya keterlibatan penduduk usia muda dalam penyalahgunaan narkotika dan alkoholisme, bentuk-bentuk agresivitas kolektif dan pengelompokan pemerasan.
Pemakaian minuman keras oleh anak-anak muda memperlihatkan kecenderungan drinking behavior memang tengah berkembang sebagai suatu gejala sosial. Drinking behavior dapat memperkuat situasi- situasi yang menimbulkan kejahatan.
Untuk memahami kejahatan oleh kelompok muda harus dilihat tekanan-tekanan situasional yang dialami kelompok usia muda akibat kegagalan menjalankan role performance yang diharapkan atau tekanan- tekanan emosional yang diakibatkan oleh toleransi atas frustrasi yang rendah.
***
Pukul 22.15 : Kami tiba di Mapolda di kawasan Semanggi. Cuaca metropolitan Jakarta sangat cerah. Cahaya bulan dan bintang menerangi Ibu Kota di waktu malam. Kn dibawa dulu ke pos komando Sabhara untuk dicatat oleh petugas di sana. Kemudian dibawa lagi ke posko Yanmas (pelayanan masyarakat) di sebelah posko Detasemen Provoost.
Sambil menunggu proses pembuatan laporan di Yanmas, saya dan anggota Patko Rusa 067 ngopi dulu agar kuat melawan kantuk. Warung kopi ini rupanya memang melayani polisi-polisi yang piket malam. Sambil meneguk kopi, saya memandang dari kejauhan Markas Polda Metro Jaya yang berdiri angkuh. Setiap menit, setiap jam, polisi Ibu Kota sibuk mengamankan Jakarta dari berbagai gangguan ketertiban dan kejahatan.
Metropolitan Jakarta menyimpan kerawanan kejahatan, termasuk yang dilakukan anak-anak muda. Arus urbanisasi yang deras di Ibu Kota memang mendorong meningkatnya kemiskinan, pengangguran, dan kehadiran golongan marjinal seperti pedagang asongan, gelandangan, dan pengemis.
Kemiskinan yang berlarut-larut dan kesenjangan sosial yang makin tajam akhirnya menyebabkan orang berbuat nekad, mencuri, menodong, merampok dan membunuh sesamanya.
DI TENGAH MALAM - Di tengah malam hingga menjelang pagi, para anggota Patroli Kota Polda Metro Jaya menunaikan tugas dan kewajiban mereka dengan disiplin tinggi. FOTO: KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA |
***
LIMA belas menit menjelang tengah malam, patroli Rusa 067 kembali meluncur ke jalanan, menuju sasaran di wilayah Tanjungduren, Jakarta Barat. Baru lima menit mobil menjelajahi jalan S. Parman, dari radio di mobil terdengar panggilan untuk Rusa-Rusa yang bertugas, bahwa ada informasi perampasan taksi Royal City di wilayah Jakarta Timur. Kami mendengar informasi itu dengan seksama.
Tak berapa lama kemudian, posko Patko mengudara kembali, menyatakan bahwa kasus tadi hanyalah salah paham antara sopir dan penumpang tentang ongkos pembayaran taksi. Sang pengemudi rupanya cepat mengontak operator, yang langsung menyampaikan informasi ini pada polisi.
Mobil melintasi Jl. Tubagus Angke di Jakarta Barat. Pemandangan di jalur hijau di daerah itu sangat kontras dengan fungsinya. Jalur hijau itu malah dijadikan tempat kencan para wanita malam, bahkan dijadikan tempat beristirahat para tunawisma.
Koptu Widodo yang duduk di belakang kemudi tiba-tiba setengah berteriak berucap, "Ada satu orang polisi di tengah kerumunan orang di jalur hijau. Kita ke sana, siapa tahu ia berada dalam kesulitan." Koptu Widodo memarkirkan mobilnya di depan sebuah apotek. Sementara Widodo menunggu di mobil, Serda Eko dan Sertu Khalim turun membawa senjata laras panjang, dan menghampiri kerumunan orang di jalur hijau di Jl. Tubagus Angke itu.
Ternyata ada keributan antara seorang wanita malam dengan lelaki teman kencannya. Sang pria babak belur dihajar sejumlah orang yang mengaku petugas keamanan di sana. Kedua sersan polisi ini berusaha menyelesaikan keributan kecil ini dengan cara-cara persuasif, sehingga tercapai perdamaian antara kedua belah pihak.
Pukul 01.15 : Radio di mobil patroli bersuara lagi, berisi informasi tentang peristiwa penembakan di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Pelaku penembakan adalah anggota Provoost berpakaian preman yang sedang berjalan kaki di halte, mengaku ditodong enam orang. Satu di antara penodong, menurut informasi polisi, adalah korban Indra Surya. "Kepada Rusa-Rusa yang paling dekat dengan TKP (Tempat Kejadian Perkara), harap meluncur ke sana," demikian perintah dari piket Patko dari radio.
Saat itu kami sedang singgah sejenak di Pos Polisi Tomang, tak jauh dari Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta Barat. Serda Eko Komaryadi mengajak rekan-rekannya untuk meluncur ke TKP.
Dalam waktu enam menit, kami tiba di TKP. Di depan halte bus kota di kawasan Bendungan Hilir, Jl. Jenderal Sudirman, mobil patroli dengan sandi Rusa 062 sudah lebih dulu tiba. Korban penembakan, Indra Surya, sudah digotong ke Rumah Sakit Jakarta di seberang jalan.
Tapi kami masih melihat bercak-bercak darahnya di aspal jalan dekat jalur hijau yang membatasi jalur cepat dan jalur lambat. Ketika kami datang, korban korban masih bernafas. Kami sempat menanyakan kepada dua orang saksi yang pada malam itu mendengar letusan senjata api. Tapi mereka mengaku tidak melihat langsung penembakan tersebut. Penembakan itu agaknya merupakan peristiwa paling menonjol selama malam ini.
Pukul 02.00: Setelah mengumpulkan informasi tentang kasus penembakan, kami melanjutkan perjalanan, melintasi Jl. KH Mas Mansyur, terus melaju ke Jl. Jatibaru, menembus Jl. Cideng Barat, muncul di Jl. KH Mohammad Mansyur dan kawasan Pasar Pagi. Koptu Widodo tetap bertahan di belakang kemudi, sambil menikmati biskuit yang dibeli dari sebuah warung.
Di kawasan Tambora, tampak bajaj-bajaj diparkir berjejer menyebabkan lalu lintas agak terganggu. Beberapa jalan utama di wilayah Tambora merupakan kawasan perdagangan yang padat lalu lintas. Aksi penjambretan dan penodongan kerapkali terjadi dengan sasaran wanita yang naik bajaj.
Ketika melewati kantor Polsek Tambora, Widodo melihat di seberang jalan ada kerumunan masyarakat. "Kelihatannya ada kecelakaan lalu lintas. Kita meluncur ke sana," ujar Widodo sembari menginjak gas, mempercepat kendaraannya, lalu memutar jalan dan mendatangi kerumunan itu.
Ternyata sebuah truk tanah B-9270-CA menyenggol mobil Kijang Super B-7900-SH mengakibatkan pintu depannya sulit dibuka. Antara sopir truk dan pengemudi Kijang terlibat cekcok mulut. Serda Eko dan Sertu Khalim ikut membantu menengahi pertengkaran itu. Akhirnya kedua pengemudi dibawa ke kantor Polsek Tambora agar persoalannya dapat diselesaikan.
Tugas seorang polisi memang tidak sekadar menangkap penjahat. Selain memiliki tanggung jawab untuk menjaga ketertiban dan memberikan rasa aman pada masyarakat, petugas patroli perlu juga sabar, setidaknya jika menghadapi mereka yang suka mabuk-mabukan. (KOMPAS, 11 Juni 1991, halaman 1)
Komentar
Posting Komentar