16 Jam Bersama Patko (1)

Setelah ditugaskan di Jakarta tahun 1991, saya lebih banyak berkecimpung dalam berita-berita kepolisian. Bulan Juni 1991, saya menulis lebih dalam tentang Patroli Kota (Patko) setelah mengikuti perjalanan mobil patroli selama 16 jam. Ide ini sebenarnya muncul ketika membaca laporan wartawan yang mengikuti patroli NYPD. Saya lupa kapan, tapi saya pernah membacanya di perpustakaan Kompas.

Laporan saya tentang Patko, dimuat tiga hari berturut-turut di Harian Kompas (10, 11, 12 Juni 1991) di halaman 1. Laporan ini saya unggah lagi di blog "Asyiknya Jadi Wartawan". Laporan ini pernah mendapat penghargaan dari Polri tahun 1991 berkaitan dengan peringatan Hari Bhayangkara.



16 Jam Bersama Patko (1)
ORANG ASING LEBIH HARGAI POLISI...

Pengantar Redaksi
Tugas polisi di Metropolitan Jakarta tidak ringan. Mereka yang bertugas belasan jam dengan risiko yang tinggi di antara gemerlapnya Jakarta, masih sering dimaki-maki masyarakat. Padahal dengan penghasilan yang pas-pasan, anggota polisi tetap berusaha menjalankan tugas dan kewajiban mereka, menjaga keamanan dan ketertiban di Ibu Kota Negara. Malam Minggu yang lalu, wartawan Kompas Adhi Ksp semalam suntuk mengikuti dari dekat sebagian dari tugas polisi, khususnya kegiatan Unit Patroli Kota. Pengalamannya dituangkan dalam tulisan ini.


"SELAMAT berpisah, kita bertemu lagi besok pagi dalam keadaan selamat. Anggota Sabhara saling mendoakan," kata-kata yang diucapkan Komandan Sub Unit Patroli Kota (Patko) Polda Metro Jaya, Letnan Dua Agus Rianto (29) terdengar lantang dari radio panggil di setiap mobil patroli kota yang sore itu meluncur, memulai tugas mereka. "Kami sengaja show of force, untuk menunjukkan pada masyarakat Ibu Kota, inilah sosok patroli kota yang siap mengamankan Jakarta, setidaknya menciptakan rasa aman pada warga metropolitan," kata Agus.

Selepas magrib, iring-iringan konvoi delapan belas sedan patroli kota Polda Metro Jaya dengan bunyi sirene mulai bergerak dari pintu keluar Mapolda di Jl. Gatot Subroto, kemudian turun lewat jembatan Semanggi, masuk ke Jl. Sudirman, untuk kemudian meluncur ke tempat tugas masing-masing.

Rusa 067, nama sandi regu Patroli Kota yang akan saya ikuti, memperoleh bagian tugas mengawasi jalur wisata hingga pukul 21.00. Setelah itu dilanjutkan berpatroli di kawasan Tanjungduren, Jakarta Barat sampai pagi. Lama bertugas yang ditetapkan memang 12 jam, tapi bisa molor lebih dari 12 jam. "Kurang dilarang, lebih sudah biasa," kata Koptu Widodo tertawa.

Satu jam sebelumnya, setiap anggota Patko sudah harus berkumpul terlebih dahulu di markas Satuan Sabhara Polda Metro Jaya, untuk mengikuti apel dan mempersiapkan kendaraan dinas. Hari itu Sabtu 25 Mei. "Biasanya pada malam Minggu, malam panjang seperti sekarang, lebih banyak peristiwa yang terjadi di seantero metropolitan Jakarta," ucap Letda Agus yang memimpin Patko pada malam itu.

Letnan Dua Agus Rianto memperkenalkan saya kepada anggota Patko, khususnya kepada tiga anggota Patko yang akan menemani saya semalam suntuk. Sersan Satu Khalim (27) sebagai komandan tim, Sersan Dua Eko Komaryadi (23) yang duduk di jok belakang mendampingi saya dan Kopral Satu Widodo (32) yang bertugas mengemudikan mobil.

Mobil patroli kota yang diterjunkan pada hari itu sebanyak 18 buah dengan 69 orang anggota. "Sebagian besar anggota Patko berusia 20-29 tahun. Pokoknya masih muda-muda orangnya. Masih enerjik seperti saya dan Anda," ujar Agus lulusan Akabri Kepolisian tahun 1985 ini melempar senyum.

Sehabis apel, anggota Patko diberi kesempatan mengisi perut. Mereka menyantap bakso, nasi uduk dan ngopi di warteg, yang murah meriah.

Setelah mengisi bensin di tempat pengisian khusus di Mapolda Metro Jaya, kami berhenti sejenak, menunggu waktu magrib tiba. Biasanya anggota Patko mendapat jatah bensin 6 liter untuk bertugas selama 12 jam. Tapi agaknya malam itu malam istimewa, bensin diisi dua kali lebih banyak dari biasanya. Mungkin untuk memuaskan rasa ingin tahu saya, menjelajahi Jakarta dengan mobil Patko. Menurut Khalim, kalau mereka berhasil menangkap penjahat, mereka mendapat bonus berupa tambahan bensin.

Siap Membantu
Para anggota Patroli Kota Polda Metro Jaya setiap saat siap membantu warga Ibu Kota yang mengalami gangguan keamanan dan ketertiban. Meraka yang bertugas pada malam hari, mempelajari jalan-jalan di seantero Jakarta. FOTO: KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA

                                                        ***

PUKUL 18.15 : Konvoi mobil patroli kota beriring-iringan, keluar dari Mapolda Metro Jaya. Ada delapan belas mobil yang terlibat dalam tugas patroli kota pada malam minggu itu. Mobil yang kami tumpangi meluncur di Jl. Sudirman dengan kecepatan 30 km/jam. Situasi jalan protokol waktu itu belum begitu padat. Lampu-lampu jalanan sudah menyala. Gedung-gedung perkantoran di sepanjang Jalan Sudirman - Jalan MH Thamrin tampak angkuh.

18.25 : Kami tiba di kawasan Bundaran Hotel Indonesia di jantung kota Jakarta. Mobil patroli diparkir di dekat zebra cross. "Tempat ini merupakan jalur pengamanan wisata," ucap Sertu Khalim, sang komandan tim. Lalu lintas di kawasan ini mulai padat. Sertu Khalim, Koptu Widodo dan Serda Eko turun ke jalan, lengkap dengan rompi oranye. Kalau kena cahaya mobil, rompi itu akan memantulkan sinar. Rompi ini harus digunakan oleh setiap anggota Patko yang bertugas malam hari.

Koptu Widodo turun membawa senjata api laras panjang. Di antara polisi yang menemani saya malam itu, Widodo asal Klaten ini usianya paling tua. Tampaknya Koptu yang sudah lebih 10 tahun jadi polisi ini mengenal betul liku-liku metropolitan Jakarta. Malam itu Widodo langsung bertugas mengawasi lalu lintas di Bundaran HI. Sedangkan Serda Eko Komaryadi berdiri di tepi Jl. Thamrin, membawa tongkat dan senter.

Sertu Khalim menunggu di dekat mobil patroli. "Tidak jarang ada panggilan untuk Rusa 067 dari komandan," ujar polisi ini membuka percakapan. Bertubuh sedang, berkumis tipis, berambut pendek, Khalim semula bercita-cita jadi ustad. Maklum, dulu di kampungnya di Kroya (Jawa Tengah), Khalim dilahirkan di tengah-tengah tradisi pesantren yang kuat. Sejak mengikuti pendidikan bintara di Sekolah Polisi Negara Lido (Bogor) tahun 1983/1984, Khalim mengaku mulai terkuak dengan dunia luar, terutama dengan rekan-rekannya yang berbeda suku dan agama.

"Menjadi polisi, kita memang harus tahan mental," ucapnya sungguh-sungguh. Sebab, penilaian masyarakat terhadap polisi masih minor saja. "Orang bule malah lebih menghargai polisi. Tuh lihat, orang bule itu manggut-manggut pada kita sambil menyapa Selamat malam. Disapa demikian saja, kami sudah merasa senang," kata Khalim sambil membalas sapaan orang asing yang melintas di depan kami. Bule itu berjalan kaki masuk ke halaman Hotel Indonesia. Memang tidak cuma satu bule yang melakukan tindakan simpatik demikian. Hampir setiap orang asing yang lewat dekat mobil patroli melakukan hal serupa. Sambil tersenyum, mereka menganggukkan kepala atau menyapa Selamat Malam kepada polisi-polisi itu.

Sebaliknya, sikap sebagian masyarakat terhadap polisi tak jarang menyakitkan hati anggota yang bertugas. Sebagai polisi patroli, mereka berhak untuk curiga terhadap hal-hal yang dianggap mencurigakan. Misalnya, ketika menghentikan kendaraan yang diperkirakan mencurigakan, sang pengemudi maupun penumpangnya malah membentak kasar. "Mengapa menyetop mobil ini? Kami bukan penjahat," demikian antara lain ucapan yang sering didengar polisi. Bahkan pengendara mobil seringkali memandang sinis pada polisi sambil mengucapkan kata-kata cemoohan yang membuat polisi harus mengurut- urut dada.

***

SIKAP masyarakat terhadap polisi selama ini tampaknya masih cenderung negatif. Tahun lalu, Harian Surya yang terbit di Surabaya pernah mengadakan polling untuk mengetahui respon masyarakat terhadap langkah polisi menjalankan tugasnya sehari-hari dengan mengambil 150 responden. Hasilnya antara lain, sikap polisi yang menjadi sorotan masyarakat adalah tindakan yang kurang dapat dijadikan teladan (50 persen), kurang disiplin (30 persen), kurang tegas (11 persen) dan kurang wibawa (9 persen).

Dari pengumpulan pendapat tersebut, diperoleh pula hasil bahwa masyarakat mendukung tugas polisi hanya satu persen. Umumnya mereka takut jadi saksi (50 persen). Masyarakat menuntut pelayanan polisi harus ditingkatkan, misalnya dalam keterlambatan bertindak (30 persen), kesopanan dalam menangani kasus (26 persen), keramahan dalam menangani kasus (22 persen) dan penghormatan hak asasi (22 persen).

Masyarakat juga menyoroti cara penyelesaian perkara oleh polisi (11 persen), mengatasi masalah lalu lintas (10 persen), tidak mematuhi KUHAP sewaktu mengadakan penyidikan (50 persen) dan perlu biaya urusan dengan polisi (33 persen). Demikian antara lain hasil polling Harian Surya.

Padahal kalau dipikir-pikir, gaji yang diterima bintara polisi boleh dibilang tidak seimbang dengan tenaga dan waktu yang dikeluarkan. Anggota Patko harus bertugas selama 12 jam nonstop, bahkan sering lebih, kemudian mendapat giliran istirahat 24 jam. Begitulah seterusnya, hari demi hari dilalui oleh setiap anggota polisi, sang abdi masyarakat.

Bagi bintara polisi misalnya, menikmati makanan di warung Tegal merupakan hal yang lumrah. Polisi memang terbiasa hidup sederhana. Seorang bintara polisi yang masa kerjanya belum lama, dalam sebulan menerima gaji tidak sampai seratus ribu rupiah. Ia harus memikirkan biaya kontrak rumah yang layak ditempati dan biaya hidup sehari-hari di metropolitan Jakarta yang serba keras dan gemerlap ini.

Dengan penghasilan pas-pasan demikian, polisi yang sudah bertugas belasan jam dengan risiko yang tinggi pun, masih saja dimaki-maki masyarakat.

***

19.00 : Suasana di kawasan Bundaran HI aman terkendali. Tampak bule-bule berjalan kaki. Maklum, banyak hotel dan gedung bertingkat lainnya berdiri di sekitar lokasi ini. Mobil-mobil mewah BMW dan Mercedes berseliweran, memasuki halaman Hotel Indonesia maupun ke halaman pusat perbelanjaan Plaza Indonesia, Sogo dan hotel internasional Grand Hyatt yang bertetangga dengan HI.

Beberapa tukang ojek mangkal di depan Sogo, menunggu penumpang -tentunya dari masyarakat golongan menengah ke bawah- yang akan ke daerah Kebon Kacang, Tanah Abang. Di dekat air terjun mini di depan Grand Hyatt, pasangan-pasangan muda-mudi asyik berpacaran.

Kata Khalim, sekitar dua minggu yang lalu, ada informasi dari penelepon gelap bahwa Grand Hyatt akan diledakkan. Informasi yang menyesatkan dari orang tak bertanggung jawab ini akhirnya membuat polisi jadi repot.

Serda Eko mengajak saya ikut memantau situasi halte di depan Plaza Indonesia. Bus-bus kota bergantian singgah di halte permanen ini. Terlihat pemandangan yang kontras. Sementara penumpang bus kota termasuk yang bertingkat kelihatan berdesak-desakan, penumpang kendaraan pribadi yang nampak santai.

Nampak seorang pemuda yang gerak-geriknya mencurigakan. Menyandang tas kecil, rambut sang pemuda agak gondrong dan bajunya kumal. Ketika kami mendekatinya, pemuda itu rupanya merasa polisi memperhatikannya. Begitu ada bus kota lewat dan berhenti di depan halte, ia langsung naik. Padahal ia berdiri di halte itu sudah cukup lama. "Kita memang harus curiga pada orang-orang yang memiliki ciri- ciri seperti penjahat. Jika perlu menggeledahnya, untuk mengetahui apakah ia membawa senjata tajam atau tidak," jelas Serda Eko yang baru tiga bulan bergabung dengan Unit Patroli Kota. (KOMPAS, 10 Juni 1991, halaman 1)

Komentar

Posting Komentar